Khutbah Jumat Wajib Berbahasa Arab?
Dodi Rulianda (12100307)
Ada seorang
teman yang mengatakan bahwa memang seharusnya khutbah itu disampaikan dalam
bahasa Arab. Konon memang seperti itulah seharusnya, sebab khutbah Jumat itu
bukan sekedar penyampaian ilmu semata, tetapi juga merupakan ritual ibadah
mahdhah sebagai pengganti dua rakaat shalat yang hilang. Apa benar bahwa
sejatinya khutbah Jumat itu harus menggunakan bahasa Arab?
Jumhur ulama dari Mazhab
Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah umumnya sepakat mensyaratkan khutbah disampaikan
dalam bahasa Arab, setidaknya dalam rukun-rukunnya. Sedangkan selain yang rukun
dibolehkan untuk disampaikan dalam bahasa selain Arab, demi untuk bisa dipahami
oleh para pendengarnya.
Mazhab (bahasa Arab: مذهب, madzhab)
adalah istilah dari bahasa Arab, yang berarti jalan yang dilalui dan dilewati,
sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik konkrit maupun abstrak. Sesuatu
dikatakan mazhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi ciri
khasnya. Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan mazhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah
melalui pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya dan menjadikannya
sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya,
bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah.
A. Mazhab Khutbah Disampaikan Dalam Bahasa Arab
1. Mazhab Al-Malikiyah : Wajib
Berbahasa Arab
Mazhab ini mewajibkan khutbah Jumat
disampaikan dalam bahasa Arab. Bahkan sampai mengatakan bila di suatu tempat
tidak ada satu pun orang yang mampu menyampaikan khutbah dalam bahasa Arab,
walaupun dengan membaca rukun-rukunnya saja, maka gugurlah kewajiban khutbah
dan shalat Jumat.
Dan disyaratkan pula khatib memahami
apa yang dibacanya dalam bahasa Arab itu, bukan sekedar bisa membunyikan saja.
2. Mazhab Asy-Syafi'iyah : Wajib Berbahasa
Arab
Senada dengan mazhab Al-Malikiyah di
atas, mazhab Asy-Syafi'iyah juga berfatwa tentang keharusan khutbah Jumat
disampaikan dalam bahasa Arab.
Fatwa dalam mazhab ini menyebutkan
apabila tidak ada khatib yang mampu menyampaikan khutbah dalam bahasa Arab,
meski hanya rukun-rukunnya saja, maka wajiblah hukumnya bagi khatib tersebut
untuk belajar bahasa Arab. Sehingga belajar bahasa Arab itu dalam mazhab ini
hukumnya menjadi fardhu kifayah.
Dan apabila tidak seorang pun yang
melakukan belajar bahasa Arab, maka semua jamaah ikut berdosa. Dan untuk itu
gugurlah kewajiban shalat Jumat dan semua melakukan shalat Dzhuhur saja.
B. Dasar Pengambilan Hukum
Lalu apa dasar dan latar belakang
jumhur ulama mengharuskan khutbah Jumat disampaikan dalam bahasa Arab, meski
hanya rukunnya saja?
Dasarnya adalah ittiba'
kepada yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, para shahabat dan generasi
penerusnya hingga 14 abad kemudian. Padahal boleh jadi khutbah itu disampaikan
di luar negeri Arab, dimana mayoritas penduduknya tidak mengerti bahasa Arab.
Kebanyakan ulama memandang bahwa
khutbah Jumat ini lebih merupakan ibadah ritual (ta'abbud), ketimbang
bagaimana orang memahami isi pesan di dalamnya.
Alasannya karena khutbah Jumat tidak
lain merupakan pengganti dari dua rakaat shalat Dzhuhur. Dan shalat itu wajib
berbahasa Arab, sehingga khutbah pun wajib disampaikan dalam bahasa Arab, meski
tidak satu pun dari hadirin memahami isi khutbah itu.
Lepas dari
perbedaan pendapat antara yang mewajibkan khutbah berbahasa Arab dengan
pendapat yang tidak mewajibkan, sebenarnya dalam prakteknya sehari-hari, yang
kita lakukan selama ini sudah benar dilihat dari dua pihak.
Sebab mereka
yang mewajibkan bahasa Arab menyebutkan bahwa minimal bahasa Arab itu digunakan
pada rukun-rukun khutbah. Dan sejatinya, para khatib Jumat itu, meski
kebanyakan tidak menguasai bahasa Arab, tetapi ketika mereka menyebutkan
rukun-rukun khutbah, kebanyakan menyampaikannya dengan bahasa Arab.
Coba saja
perhatikan, ketika membuka khutbah para khatib itu pasti memulai dengan lafadz
hamdalah dan shalat kepada Nabi SAW. Umumnya kedua rukun ini disampaikan dalam
bahasa Arab tanpa disadari.
Kemudian,
rukun berikutnya adalah membacakan petikan ayat Al-Quran. Tentu saja pasti
menggunakan bahasa Arab. Sebab akan menjadi tidak sah apabila khutbah tidak
membacakan petikan ayat Al-Quran. Dan juga tidak sah kalau yang dibaca cuma
terjemahannya saja. Dan para khatib biasanya amat fasih melantunkan ayat-ayat
Al-Quran dalam bahasa Arab di dalam khutbah Jumat.
Dan rukun
berikutnya adalah menyampaikan wasiat. Ini pun oleh para khataib juga
disampaikan dalam bahasa Arab. Bukankah kita sering mendengar khatib membaca
lafadz Ittaqullaha haqqa tuqatihi. Nah, itu adalah wasiat atau
pesan untuk bertaqwa dan disampaikan dalam bahasa Arab. Asalkan sudah baca
lafadz itu, sebenarnya sudah cukup dan kewajiban menyampaikan wasiat sudah
gugur.
Terakhir
yang merupakan rukun khutbah Jumat adalah mendoakan umat Islam. Dan biasanya,
semua khatib akan mengucapkan lafadz doa yang pasti kita hafal, Allahummaghfir
lil muslimina wal muslimat. Tentu saja doa itu juga berbahasa Arab.
Jadi dengan
demikian, sebenarnya semua rukun khutbah sudah tersampaikan dalam bahasa Arab
sebagaimana pendapat jumhur ulama. Kalau pun kita berpegang kepada pendapat
jumhur ulama, tidak ada satupun yang terlanggar.
Sumber Keterangan: Ahmad Sarwat, Lc. MA
http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1393797369
diakses 1 Mei 2015
EmoticonEmoticon