PEMBAHASAN
KAJIAN
SOSIOLINGUISTIK DIALEK SUMATERA
(MINANG) DENGAN BAHASA INDONESIA
A. SEJARAH PENAMAAN MINANG KABAU DAN DIALEKNYA
1.
Asal Usul Penamaan Minang Kabau Sebagai Sebuah Suku
Alkisah pada masa lalu Ranah Minangkabau mendapat ancaman serangan dari
kerajaan yang kuat dari daerah Jawa. Untuk menghindari pertempuran fisik yang
pasti banyak memakan korban, orang Minangkabau melakukan diplomasi dan
mengusulkan agar peperangan tersebut diganti dengan adu kerbau. Usul tersebut
disetujui oleh raja dari Jawa, kemudian dikirimlah kerbau yang besar dan
perkasa. Dari Minangkabau disiapkan anak kerbau tetapi yang kehausan dan di
tanduknya dipasang taji.
Saat dimulai pertarungan, ketika anak kerbau yang masih kecil itu menoleh
ke kerbau dari Jawa, serta merta menyeruduk perut lawannya yang dikira ibunya
dan menikam kerbau dari Jawa hingga mati. Raja Jawa mengakui kemenangan
ini dan akhirnya mengurungi niatnya untuk menyerang Minangkabau. Sejak itulah
orang Minangkabau konon memakai nama Minangkabau yang berarti Menang Dalam
Pertandingan Kerbau sebagai identitas budayanya.
Suku Minangkabau memang mempunyai
keterkaitan yang sangat erat dengan hewan ternak berkaki empat yang disebut
kerbau. Itu antara lain terlihat pada berbagai identitas budaya Minang, seperti
atap rumah tradisional mereka (Rumah Bogonjong). Rumah adat yang kerap disebut
juga Rumah Gadang itu berbentuk seperti tanduk kerbau. Begitu pula pada pakaian
wanitanya (Baju Tanduak Kabau).
Sudah
beratus-ratus tahun lamanya kerbau menjadi salah satu hewan terfavorit di
Provinsi Sumbar. Badan kerbau yang besar dan kekar dianggap mampu membantu
berbagai macam pekerjaan manusia. Salah satu pekerjaan kuno yang dikerjakan
dengan bantuan tenaga kerbau adalah menggiling tebu. Dengan alat sederhana,
sang kerbau diikat di sebilah bambu yang terhubung pada alat pemeras tebu
tradisional. Selama delapan jam bekerja, sang kerbau terus-menerus berputar
mengelilingi alat pemeras. Uniknya, agar sang kerbau tidak pusing kepala, mata
hewan itu ditutup dengan dua buah batok kelapa yang dilapisi kain.
Air tebu hasil perasan sang kerbau itulah yang kemudian menjadi cikal bakal
pembuatan gula merah tradisional. Masyarakat Minang percaya gula merah hasil kerja
keras sang kerbau lebih gurih ketimbang dari alat modern.
2. Keterkaitan Bahasa Dengan Struktur Sosial
Di beberapa daerah,
bahasa mempunyai keterkaitan dengan struktur sosial.Bahasa turut memperkuat
stratifikasi sosial yang sudah tertata dalam sistem sosial masyarakat tertentu.
Orang tidak serta merta menggunakan bahasa yang biasa dipakai dalam kehidupan
sehari-hari jika mereka berkomunikasi dengan orang atau kelompok yang
dinilainya memiliki kedudukan sosial yang lebih tinggi, maka mereka akan
menggunakan bahasa yang dinilai lebih sopan dan lebih halus.contohnya saja
bahasa jawa yang mempunyai tingkatan-tingkatan bahasa.
Adapun di daerah
sumatera barat yang menganut suku minang, tidak erdapat tingkatan-tingkatan
bahasa. Komunikasi antar sesama menggunakan bahasa yang biasa, yang membedakan
hanyalah pada nada dan pilihan kata saja. Misalnya seorang laki-laki
berbicara kepada laki-laki lainnya yang sebaya, akan menggunakan kata “ang”,
yang artinya adalah kamu. Hal yang demikian adalah lumrah. Lain halnya, ketika
kita berbicara kepada orang yaang memiliki strata sosial yang lebih tinggi
dalam adat. Seseorang tidak boleh menggunakan kata “ang”, atau memanggil
namanya, melainkan dia harus menyebut gelar yang dimilikinya. Misalnya datuk
papatiah nan sabatang.
Di dalam adat minang
kabau, apabila seorang laki-laki telah mempunyai gelar, maka orang lain akan
memanggilnya dengan menyebut gelar itu, kecuali memang orang yang tidak tahu
bahwa dia telah mempunyai gelar. Jika ada orang sekitar yang masih memanggilnya
dengan nama aslinya, biasanya akan dikenakan denda dengan kerbau yang
disembelih.
3.
Aturan Dialek Bahasa Minang
Bahasa di daerah minang mempunyai dialek khusus yang sangat berbeda dengan
daerah lain. Umumnya setiap kata yang di ucapkan hampir mempunyai kemiripan
dengan bahasa indonesia. Hanya saja pada beberapa kata ada yang di tambah, dan
diganti. Aturan umumnya adalah sebagai berikut:
a.
Untuk kata yang terdiri dari 3, 4, huruf yang mana jika huruf terakhirnya
adalah huruf vokal a, maka biasanya di ganti dengan huruf o. Contoh pada kata
iya menjadi “iyo”, apa menjadi apo, ada menjadi ado, dan kata yng lainnya.
Adapun contoh kata yang terdiri dari 4 huruf yaitu kita menjadi kito.
b.
Untuk kata yang terdiri dari 6 huruf, yang huruf kedua dari kata itu adalah
e biasanya diganti dengan a, dan huruf akhir dari kata tersebut adalah a,
diganti dengan o. Contoh kata mengapa menjadi mangapo, kemana menjadi kamano.
c.
Untuk kata yang akhirannya uk dan uh, biasanya ditambah dengan a, menjadi
uah, uak. Contoh pada kata sepuluh menjadi sapuluah, jauh menjadi jauah, duduk
menjadi duduak.
d.
Untuk kata yang berakhiran at, biasanya di ganti dengan ek. Contoh kata
empat menjadi ampek, dekat menjadi dakek, tempat menjadi tampek.
4. Persamaan Kata dengan Suku Lain
Di antara persamaan yang terjadi antara suku minang dan suku jawa
yaitu:
Lombok
: cabe, antara basah dan kering
Boto
: batu bata, botol
Golok
: parang, mendung
Urang
: udang, orang
Bali
: pulang, beli
Godok
: rebus, sejenis makanan
Bulek
: tante, bulat
Abang
: merah, kakak laki-laki
Bedo
: berbeda, susah
Piti
: tempat nasi, uang
Jago
: ayam jantan, bangun
5.
Kaitan Bahasa dan Mitos Masyarakat
Banyak mitos yang
beredar di masyarakat, seperti:
a.
“Ndak elok manangih di muko nasi, beko nasinyo bisa tabang”
(tidak boleh menangis
di depan nasi, nanti nasinya bisa terbang)
b.
“Ndak elok mambaco buku di wakotu maghrib, beko mato bisa buto”
(tidak boleh membaca
ketika waktu maghrib, nanti matanya bisa buta).
6.
Kirata Bahasa dan Salah Pemahaman Dalam Berbahasa
Kirata bahasa adalah akronim dari benda yang disebutkan atau kata yang
dimaksudkan. Akronim di dalam bahasa minang sendiri tidak ada. Adapun salah
pemahaman bahasa adakalanya terjadi antara suku yang berbeda. Contoh kasus :
Pada suatu ketika, Buyuang pulang
dari sawah sudah agak larut malam, jalan manuju rumahnya agak sedikit
gelap , singkat cerita pulanglah Buyuang sambil bernyanyi-nyanyi “kutang
barendo” penghilang rasa cemas karena pulang sendiri saja hari tu..
Tibo dijalan satapak, Buyuang indak
lalu ditampek biaso yang inyo lewati dek lah malam bana hari tu. Biaso ambiak
jalan kanan, babeloklah inyo kakiri, sadang lamak bajalan basobok lah si
Buyuang dengan si Paijo urang Jawa nan tu..
Mancaliak si Buyuang barantilah si Paijo dengan baju agak
kumuah saketek.
Dengan percaya diri,disaponyolah si Buyuang tadi..
“Mas, awas hati-hati didepan kolam”, kecek si Paijo lo ka si Buyuang..
“Apo, kolam..?” Kecek waang aden takuik jo kolam..? “Alun tau waang sia aden lai…” kecek si Buyuang lo..
“Mari mas”, Paijo sambil tersenyum kedian pergi..
“Heh..itu sajo takuik pulo”, .. si Buyuang sambil maumpek-umpek dihati terus berjalan…
“Apo, kolam..?” Kecek waang aden takuik jo kolam..? “Alun tau waang sia aden lai…” kecek si Buyuang lo..
“Mari mas”, Paijo sambil tersenyum kedian pergi..
“Heh..itu sajo takuik pulo”, .. si Buyuang sambil maumpek-umpek dihati terus berjalan…
Tak lama
kemudian…
Bruuu..kkkk…Gedubrak..Byur…
Masuaklah si Buyuang tadi kadalam kolam…
Mandanga si Buyuang jatuah, babaliaklah si Paijo tadi.. “Wealah piye toh Mas…tadi tak omongin didepan ada kolam..ga mau denger.. ” ujar Paijo kepada Buyuang
Mandanga si Buyuang jatuah, babaliaklah si Paijo tadi.. “Wealah piye toh Mas…tadi tak omongin didepan ada kolam..ga mau denger.. ” ujar Paijo kepada Buyuang
“Eh, kurang
aja waang ko, kecekan lah tadi ado Tobek dimuko…”
7. Bahasa Pujian dan Bahasa Ejekan
Contoh bahasa pujian
yang biasa digunakan di daerah minang
adalah “rancak bana”
(bagus banget), dan kata “elok”. Adapun bahasa ejekan yang di gunakan adalah:
a.
Pantek, adalah bahasa ejekan yang paling kasar di daerah minang. Dan
biasanya orang yang menyebut kata itu menandakan bahwa iya memang marah sekali.
b.
Anjiang, juga termasuk kata yang sangat kasar bila diucapkan.
c.
Pak ang, mak ang, atau pak kau, mak kau.
d.
Kurang aja.
8. Upaya Pemerintah dalam Melestarikan Bahasa Minang
Untuk melestarikan bahasa minang sebagai bahasa daerah, dilakukan beberapa
upaya seperti :
a.
Dari pihak pemerintah sendiri, upaya yang dilakukan adalah dengan
menjadikan bahasa daerah sebagai matapelajaran muatan lokal, dimulai dari kelas
4 SD, dilanjutkan tingkat SMP/MTs, dan tingkat SMA/MA, yang lebih dikenal
dengan mata pelajaran BAMK (Budaya Alam Minang Kabau).
b.
Membuat siaran radio yang seluruhnya berbahasa minang.
c.
Menjadikan bahasa minang sebagai bahasa pengantar dalam beberapa upacara
adat.
Bahasa
Minangkabau atau Baso Minang adalah salah satu anak cabang bahasa Austronesia
yang dituturkan khususnya di wilayah Sumatra Barat, bagian barat propinsi Riau
serta tersebar di berbagai kota di seluruh Indonesia.
Terdapat dua
kontroversi mengenai Bahasa Minangkabau dengan bahasa Melayu. Sebagian pakar
bahasa menganggap bahasa ini sebagai dialek Melayu, karena banyaknya kesamaan
kosakata dan bentuk tuturan didalamnya. Sedangkan yang lain justru beranggapan
bahasa ini merupakan bahasa mandiri yang berbeda dengan Melayu.
Daerah sebar tutur
Secara
historis, daerah sebar tutur Bahasa Minangkabau meliputi bekas wilayah
kekuasaan Kerajaan Pagaruyung yang berpusat di Batusangkar, Sumatra Barat.
Batas-batasnya biasa dinyatakan dalam ungkapan Minang berikut ini:
Dari Sikilang Aia Bangih
hingga Taratak Aia Hitam.
Dari Durian Ditakuak Rajo
hingga Sialang Balantak Basi.
hingga Taratak Aia Hitam.
Dari Durian Ditakuak Rajo
hingga Sialang Balantak Basi.
Sikilang Aia
Bangih adalah batas utara, sekarang di daerah Pasaman Barat, berbatasan dengan
Natal, Sumatera Utara. Taratak Aia Hitam adalah daerah Bengkulu. DurianDitakuak
Rajo adalah wilayah di Kabupaten Bungo, Jambi. Yang terakhir, Sialang.
Balantak Basi
adalah wilayah di Rantau Barangin, Kabupaten Kampar, RiausekarangBahasa
Minangkabau juga menjadi bahasa lingua franca di kawasan pantai barat Sumatra
Utara, bahkan menjangkau jauh hingga pesisir barat Aceh. Di Aceh, penutur
bahasa ini disebut sebagai Aneuk Jamee. Selain itu, bahasa Minangkabau juga
dituturkan oleh masyarakat Negeri Sembilan, Malaysia yang nenek moyangnya
merupakan pendatang asal ranah Minang sejak berabad-abad silam.
Dialek
Dialek bahasa
Minangkabau sangat bervariasi, bahkan antar kampung yang dipisahkan oleh sungai
sekalipun sudah mempunyai dialek yang berbeda. Perbedaan terbesar adalah dialek
yang dituturkan di kawasan Pesisir Selatan dan dialek di wilayah Muko-Muko,
Bengkulu.
Selain itu
dialek bahasa Minangkabau juga dituturkan di Negeri Sembilan, Malaysia dan yang
disebut sebagai Aneuk Jamee di Aceh, terutama di wilayah Aceh Barat Daya dan
Aceh Selatan.
Berikut ini
adalah perbandingan perbedaan antara beberapa dialek antara bahasa minang
antara suatu daerah dengan daerah lain di minang kabau dan dengan bahasa
melayu/Indonesia:
Bahasa Indonesia/ Bahasa Melayu: Apa katanya
kepadamu?
Bahasa Minangkabau “baku” : A keceknyo jo kau?
Padang Panjang : Apo keceknyo ka kau?
Pariaman : A kate e bakeh kau?
Ludai : A kecek o ka rau?
Sungai Batang : Ea janyo ke kau?
Kurai : A jano kale gau?
Kuranji : Apo kecek e ka kau?
Bahasa Minangkabau “baku” : A keceknyo jo kau?
Padang Panjang : Apo keceknyo ka kau?
Pariaman : A kate e bakeh kau?
Ludai : A kecek o ka rau?
Sungai Batang : Ea janyo ke kau?
Kurai : A jano kale gau?
Kuranji : Apo kecek e ka kau?
Untuk
komunikasi antar penutur bahasa Minangkabau yang sedemikian beragam ini,
akhirnya dipergunakanlah dialek Padang sebagai bahasa baku Minangkabau atau
disebut Baso Padang atau Baso Urang Awak. Bahasa Minangkabau dialek Padang
inilah yang menjadi acuan baku (standar) dalam menguasai bahasa Minangkabau.
Contoh
Bahasa Minangkabau: Sarang kayu di rimbo tak samo tinggi, kok kunun manusia
Bahasa Minangkabau: Sarang kayu di rimbo tak samo tinggi, kok kunun manusia
Bahasa Indonesia: Pohon di rimba
tidak sama tinggi, apa lagi manusia
Bahasa Minangkabau: Co a koncek baranang co itu
inyo
Bahasa Indonesia : Dia berenang seperti katak
Bahasa Indonesia : Tidak boleh membuang sampah di sini!
Bahasa Minangkabau: A tu nan ka karajo ang?
Bahasa Indonesia : Apa yang akan kamu kerjakan?
Bahasa Indonesia : Dia berenang seperti katak
Bahasa Indonesia : Tidak boleh membuang sampah di sini!
Bahasa Minangkabau: A tu nan ka karajo ang?
Bahasa Indonesia : Apa yang akan kamu kerjakan?
Karya sastra
Karya sastra
tradisional berbahasa Minang memiliki persamaan bentuk dengan karya sastra
tradisional berbahasa Melayu pada umumnya, yaitu berbentuk pantun, cerita
rakyat, hikayat nenek moyang (tambo) dan adat-istiadat Minangkabau.
Penyampaiannya biasanya dilakukan dalam bentuk cerita (kaba) atau dinyanyikan
(dendang).
Perbandingan dengan
Bahasa Melayu/Indonesia
Orang
Minangkabau umumnya berpendapat banyak persamaan antara Bahasa Minangkabau
dengan Bahasa Melayu/Indonesia. M. Rusli dalam Peladjaran Bahasa Minangkabau
menyebutkan pada pokoknya perbedaan antara Bahasa Minangkabau dan Bahasa
Indonesia adalah pada perbedaan lafal, selain perbedaan beberapa kata.
Contoh-contoh perbedaan lafal Bahasa
Melayu/Indonesia dan Bahasa Minangkabau adalah sebagai berikut:
• ut-uik, contoh: rumput-rumpuik
• us-uih, contoh: putus -putuih
• at-aik, contoh: adat-adaik
• al/ar-a, contoh: jual-jua, kabar-kaba
• e-a, contoh: beban-baban
• a-o, contoh: kuda-kudo
• awalan ter-, ber-, per- menjadi ta-, ba-, pa-. Contoh: berlari,termakan, perdalam (Bahasa Melayu/Indonesia) menjadi balari, tamakan,
• padalam (Bahasa Minangkabau)
• ut-uik, contoh: rumput-rumpuik
• us-uih, contoh: putus -putuih
• at-aik, contoh: adat-adaik
• al/ar-a, contoh: jual-jua, kabar-kaba
• e-a, contoh: beban-baban
• a-o, contoh: kuda-kudo
• awalan ter-, ber-, per- menjadi ta-, ba-, pa-. Contoh: berlari,termakan, perdalam (Bahasa Melayu/Indonesia) menjadi balari, tamakan,
• padalam (Bahasa Minangkabau)
“Padang
Anyuik”. Ini adalah istilah saya bagi mereka yang orang tuanya perantau asal
Minang, tetapi anak2nya tidak lancar lagi bicara Minang. Mereka bilang kalau orang
tuanya lagi marah di rumah, tetap saja marah pakai bahasa Minang. Tetapi tidak
tahu kenap, sejak dulu saya tetap tidak bisa bicara bahasa Minang dengan
“Padang Sasek”, istilah saya bagi orang non Muslim yang kebetulan lahir, besar
atau pernah lama di
B.
Ranah
Minang / Riau. Didaktika bahasa minang: PERSOALAN RAGAM DAN KONOTASI BAHASA
Bahasa adalah
sistem lambang bunyi, dikeluarkan oleh alat ucap dan bersifat konfensional.
Pengertian defenisi bahasa di atas dapat kita pahami bahwa bahasa adalah sebuah
produk kebudayaan suatu masyarakat didasarkan situasi dan kondisi pemaknaan dan
disepakati secara bersama oleh masyarakat lainnya dalam satu lingkup
kebudayaan. Kebebasan memaknai sesuatu oleh suatu kelompok masyarakat dibatasi
dengan kesepakatan bersama dalam pemakaiannya, jadi bisa dikatakan bahwa
sesuatu yang dikategorikan dengan bahasa sangat bergantung pada kesepatakan
dari masyarakat penuturnya.
Perkembangan
pola pikir serta meningkatnya kebutuhan hidup manusia akan kebutuhan-kebutuhan
primer maupun sekunder, yang sudah barang tentu banyak menghadirkan
perubahan-perubahan, merupakan faktor utama yang melatarbelakangi perubahan
suatu bahasa. Bahasa-bahasa lama yang dulu banyak dipergunakan, lambat laun
ditinggalkan oleh masyarakat penuturnya, dan pada akhirnya hilang, digantikan
dengan bentuk bahasa lainnya. Akibat yang ditimbulkan dari perkembangan
tersebut tidak saja berpengaruh pada jumlah -apabila didasarkan ata kuantitas-
penutur, namun juga terjadi pergeseran
pada nilai-nilai normatif yang terkandung dalam adat istiadat, oleh masyarakat penutur bahasa tersebut.
pada nilai-nilai normatif yang terkandung dalam adat istiadat, oleh masyarakat penutur bahasa tersebut.
Bahasa Minangkabau sebagai salah
satu bentuk bahasa etnik, bukan tidak mengalami perubahan, atau yang lebih
tepat apabila kita namai dengan krisis eksistensional.
Di
tengah-tengah masyarakat penuturnya, yang berjumlah lebih kurang empat belas
juta jiwa tersebut, bahasa Minangkabau cenderung dikesampingkan atau
dinomorduakan. Hal tersebut terjadi tak lain karena sebagian besar penutur
bahasa Minangkabau merasa “minder” apabila berbahasa Minang.mungkin bisa lancar
dengan bahasa gaulnya atau membuat ketawa para pendengarnya Alhasil,
perkembangan bahasa Minang kini, turut mempengaruhi pola hidup serta pola
kebudayaan masyarakat Minang itu sendiri.
C. RAGAM
BAHASA MINANGKABAU
Dalam Bahasa
Minang terdapat empat ragam bahasa, yang mempengaruhi dan sangat bergantung
pada situasi dan kondisi pada saat bahasa tersebut akan dipergunakan. Keempat
ragam bahasa tersebut, antara lain:
• . Ragam Bahasa Adat,
• . Ragam Bahasa Surau,
• . Ragam Bahasa Parewa,
• . Ragam Bahasa Biasa.
• . Ragam Bahasa Surau,
• . Ragam Bahasa Parewa,
• . Ragam Bahasa Biasa.
Ragam bahasa
adat, biasanya banyak dipergunakan dalam kegiatan-kegiatan adat. Dalam ragam
ini mengandung, petatah petitih, pantun adat, mamangan dan bentuk-bentuk bahasa
kias lainnya. Ragam bahasa ini tertuang dalam pidato adat –pasambahan– para
penghulu, ninik mamak, serta tokoh-tokoh adat lainnya.
“…di awal kato
nan sapatah, menjadi ujuik jo makasuik, nan sarapak papeknyolah. Beliau nan
hadir di ateh rumah nanko. Indak dibilang ka diator, hanyo pambilang ka paatok,
pambilang pamuliakan sambah…”
Ragam bahasa
Surau, merupakan suatu bentuk bahasa yang banyak dipergunakan oleh para ulama.
Ragam ini dapat ditemui dalam setiap aktivitas keagamaan di surau. Perbedaannya
dengan ragam bahasa adat, ragam bahasa surau ini banyak mengandung ajaran-ajaran
agama, dan juga banyak dipengaruhi unsur-unsur serapan dalam bahasa arab.
“…sesuatu
barang, nan kito tamui secaro indak sengajo, itu hukumnyo dalam islam adalah
subhat. Artinyo labiah dakek kepado haram dari halalnyo. Andaikato suatu saat
kito menemukan urang nan punyo barang tersebut, heloklah kito batarus terang
kepadonyo, mintak ke ridhoan urang tasabut, Isnya Allah, Tuhan akan mengampuni
doso kito…”
Ragam Bahasa
ketiga yakni, ragam bahasa parewa. Ragam bahasa ini dipergunakan oleh kaum muda
(parewa), dalam berkomunikasi antar sesama. Ragam bahasa ini memiliki
ciri-ciri, antara lain: bahasanya sedikit kotor, kasar, dan tak jarang juga
muncul bahasa-bahasa sindiran.
“…apo nan ang
baok tu?” “tep oto, sia kiro-kiro nan namuah mambalinyo, yo?”“tep oto sia nan
ang cilok tu, angku lai, ndak tapikia sansai urang tuo manggadangkan ang!”
Ragam bahasa
yang keempat, yakni, ragam biasa, atau juga bisa disebut sebagai bahasa Minang
umum. Dikatakan biasa karena, ragam ini biasa dipergunakan oleh masyarakat
Minang dalam bertutur atau berkomunikasi. Ciri khas dari ragam ini, yakni tidak
kentaranya dialek yang dipergunakan oleh si penutur bahasa Minang. Arti yang
lebih implisit dari kondisi ini adalah ragam inilah yang sering dipergunakan
oleh orang Minang (dari berbagai daerah) dalam bekomunikasi antar sesama orang
Minang, walau pada prinsipnya mereka berbeda daerah dan dialek.
“ka pai kama
angku kini?” “ambo ka pai ka rumah buya, ado paralu jo buya.” “apo makasuik ka
rumah buya, tuh”“indak ado, doh, cuman ambo dulu pernah banazar, kini ambo ka
mambayianyo” konotasi bahasa bur dilarang diucapkan untuk kondisi ini, karena
jika aturan itu dilanggar dipercaya akan ada balasan yang setimpal bagi yang
mengatakannya, saat itu juga.
Demikianlah
ragam dan konotasi bahasa yang terdapat dalam bahasa Minangkabau. Saat ini,
sesuai dengan perubahan zaman, bahasa Minangkabau berkembang ke arah yang tidak
lagi memandang aturan adat tradisi. Oleh karena itu, masalah ini sudah
sepatutnya mendapat perhatian yang lebih serius, mengingat perkembangan
generasi muda Minang saat ini telah jauh dari norma-norma budaya Minangkabau
tersebut. Bahasa adalah cermin sebuah bangsa, baik dan buruknya.
D. PERBANDINGAN
BAHASA MINANG DENGAN BAHASA MELAYU/INDONESIA
Orang
Minangkabau umumnya berpendapat banyak persamaan antara Bahasa Minangkabau
dengan Bahasa Melayu/Indonesia. M. Rusli dalam Pelajaran Bahasa Minangkabau
menyebutkan pada pokoknya perbedaan antara Bahasa Minangkabau dan Bahasa
Indonesia adalah pada perbedaan lafal, selain perbedaan beberapa kata. Bahasa-bahasa
lama yang dulu banyak dipergunakan, lambat laun ditinggalkan oleh masyarakat
penuturnya, dan pada akhirnya hilang, digantikan dengan bentuk bahasa lainnya.
Akibat yang ditimbulkan dari perkembangan tersebut tidak saja berpengaruh pada
jumlah -apabila didasarkan ata kuantitas- penutur, namun juga terjadi
pergeseran pada nilai-nilai normatif yang terkandung dalam adat istiadat, oleh
masyarakat penutur bahasa tersebut.
Contoh-contoh perbedaan lafal
Bahasa Melayu/Indonesia dan Bahasa Minangkabau adalah sebagai berikut;
• ut-uik, contoh: rumput-rumpuik
• us-uih, contoh: putus –putuih
• at-aik, contoh: adat-adaik
• al/ar-a, contoh: jual-jua,
kabar-kaba
• a-o, contoh: kuda-kudo
• awalan ter-, ber-, per-
menjadi ta-, ba-, pa-. Contoh: berlari, termakan, perdalam (Bahasa
Melayu/Indonesia) menjadi balari, tamakan, padalam (Bahasa Minangkabau)
BAHASA MELAYU/
INDONESIA+MINANG
Bagaimana jika
bahasa minang dan bahasa melayu/bahasa Indonesia diagabungkan pemakaiannya?
Tidak lah asing karma kita akan sering mendengarnya entah itu karena si manusia
itu kurang mahir berbahasa Indonesia/melayu atau hanya sekedar untuk berkelakar
saja.memang aneh didengar bisa membuat kita tertawa juga bisa membuat kia
pusing. Jadi kita bisa membuat pertanyaan akan bahasa minang tetap exist bagi
kita orang minang?
Tak dapat di
pungkiri suatu saat bahasa seperti itu akan membudaya dan membuat bahasa minang
itu sendiri memudar .karena bahasa yang dulu banyak dipergunakan akan
ditinggalkan oleh para penuturnya dan sudah pasti akan berganti dengan bahasa
lainnya. Dan juga akan membuat nilai budaya yang terkandung dalam adat istiadat
memudar.bahkan akan menghilang dan tinggal sejarah.
Dalam
perjalanan bahasa Minang dalam existensinya, kita sebagai orang minang tentu
ingin bahasa minang itu tetep ada dan lestari sampai kapanpun.perbandingan
bahasa dan penggunaan bahasa daerah yang kita pelajari dan kita amalkan setiap
hari hendaklah selalu kita pikirkan masa depannya. Karma dapat kita lihat dan
perhatikan bahasa minang saat ini cenderung dikesampingkan atau di nomor duakan
oleh orang minang itu sendiri.saat ini pun bahasa minang sudah mengalami banyak
perubahan karna kemajuan zaman,apalagi bahasa minang mempunyai banyak kesamaan
dengan bahasa melayu.
B. BAHASA BUMI SRIWIJAYA
1.
SEJARAH BAHASA SRIWIYA
SUMATERA SELATAN
Bahasa ini berakar
pada bahasa Jawa karena raja-raja Palembang berasal dari Kerajaan Majapahit,
Kerajaan Demak, dan Kerajaan Pajang. Itulah sebabnya perbendaharaan kata Baso
Pelembang Alus banyak persamaannya dengan perbendaharaan kata dalam bahasa
Jawa.Baso Pelembang alus atau bebaso. Baso Pelembang alus dipergunakan dalam
percakapan dengan pemuka masyarakat, orang-orang tua, atau orang-orang yang
dihormati, terutama dalam upacara adat. Namun bahasa Palembang yang digunkan
sekarang tidak seperti asli lagi, sehingga sangat sulit membedakan antara
bahasa halus dana kasar melalui kata-kata, namun kita membedakannya melalui
bagai mana cara berbicara.
Baso Palembang
siri-sari, bahasa sehari-hari lebih akrab digunakan dalam bertalimarga dengan
seluruh masyarakat Palembang. Dengan demikian tujuan penutur dalam membentuk
tutur pun beragam. Misalnya saat penutur mempertanyakan sesuatu kapada mitra
tutur akan berbeda bentuk tuturnya ketika penutur sedang marah kepada mitra
penuturbaso sehari-hari dipergunakan oleh wong Palembang dan berakar pada
bahasa Melayu. Dalam praktiknya sehari-hari, orang Palembang biasanya
mencampurkan bahasa ini dan bahasa Indonesia (pemilihan kata berdasarkan
kondisi dan koherensi) sehingga penggunaan bahasa Palembang menjadi suatu seni
tersendiri.
Berikut contoh
penuturan bahasa Palembang sehari-hari:
v aman / amon = kalau
Contoh: Aman kau ke sano gek, jangan lupo bawa pempek.
Arti: Kalau kamu ke sana nanti, jangan lupa bawa
pempek.
v Contoh: Asak kau dapet
cepek, ku enjok mobil la.
Arti: Kalau kamu mendapatnya dengan cepat, saya kasih
mobil deh.
v awak = padahal
Contoh: Awak kau yang salah, nak nyalahke wong.
Arti: Padahal kamu yang salah, mau menyalahkan orang.
v balak = masalah
Contoh: Dak usah nyari balak la, kagek celako
kau.
Arti: Tidak usah cari masalah deh, nanti kamu celaka.
v balek = pulang
Contoh: Aku abes ni nak balek ke rumah.
Arti: Saya setelah ini mau pulang ke rumah.
v balen = ulang
Contoh: Balen oi, mano ado maen cak tu.
Arti: Ulang dong, mana ada main begitu.
v baseng =
terserah/sembarangan
Contoh: Baseng kau la, aku dak melok-melok bae.
Arti:
Terserah kamu sajalah, saya tidak ikut (kalau terjadi masalah, saya tidak ikut
kena getahnya).
v bebala = bertengkar
(mulut)
Contoh: Wong sebelah ni galak bebala sampe subuh.
Arti: Orang sebelah suka bertengkar sampai subuh.
v begoco =
berantem/berkelahi
Contoh: Dak usah jingok jingok, begoco be kito!
Arti: Tidak usah lihat-lihat, berantem aja kita!
v cak mano = bagaimana
Contoh: Cak mano ni? pacak dak lulus kito ni
Arti: Bagaimana ini? Bisa tidak lulus kita.
v calak = pintar, cerdik
Contoh: Oi calak nian kau e, wong ngaki kau bawak
kereta.
Arti: Cerdik juga kamu ya, orang lain jalan kaki kamu
bawa sepeda.
v cemeke'an = pelit
Contoh: Cemeke'an nian, goceng be dak ngasi.
Arti: Pelit sekali, mamberi lima ribu saja tidak mau.
v Cugak = kecewa
Contoh: Keno cugak be aku lantak dio.
Arti: Saya kecewa karena dia.
2.
STRUKTUR SOSIAL DALAM BAHASA
Dalam berkomunikasi
masyarakata Sumatra Selatan pada umumnya menggunakan bahasa yang sangat simple,
karena mereka tidak disibukkakan akan tingkatan bahasa. Dalam adatnya bahasa
Sumatra Selatan tidak ada bahasa yang dinilai sopan, dan bahasa yang dinilai halus
sehingga kesan pertama yang akan dilihat orang selain sumatra adalah bahwa
bahasa meraka sangat kasar. Sehingga beberapa daerah yang berada disumatra,
kata-kata yang menurut orang lain kasar,namun bagi mereka itu bukanlah
perkataan yang kasar akan tetapi sebuah panggilan sahabat yang
digunakan kepada meraka yang di anggap sudah sebagai teman dekat, seperti kata
“anjing”.
Dalam kehidupan
sehari-hari tidak ada perbedaan yang signifikan dalam berbahasa, baik
yang digunakan anak-anak, remaja, dan orang dewasa. Namun pengaruh teknologi
dan komunikasi pasti akan mempengaruhi suatu bahasa sehingga bahasa yang
digunakan orang yang masih dinilai remaja akan memberi kesan bahwa bahasa yang
mereka gunakan sedikit lebih gaul begitu juga dengan anak-anak karena, mereka
meniru dari kakak-kakak mereka seperti kata bro, coy, yang kesemunya itu
adalah bahasa-bahasa yang diserap dari bahasa asing. Walaupun demikian
orang-orang Sumatra Selatan tidak serta merta menggunakan bahasa yang pada
umumnya ketika mereka berbicara dengan orang yang lebih tua, atau kelompok yang
dinilai lebih sopan, mereka akan berusa berbicara dengan halus dengan cara
mengurangi penekanan dalam bahasa dan lebih memeperlambat dalam berbicara.
Berbeda dengan halnya ketika mereka berbicara dengan teman-teman sebayanya
mereka akan menggunkaan bahasa yang pada umumnya dengan menekan suara dan
berbicara lebih kuat, keras dan terkadang diakhiri dengan kata-kata yang
memperkuat teman atau suku solidaritas. Contoh :
a.
nak kemano mangcik? (dipergunakan
untuk orang yang dianggap sopan) artinya mau kemana paman?..
b.
woi.. nak kemano coy? (dipergunakan
untuk teman sebaya) artinya mau kemana kawan?
3.
DIALEK BAHASA
Setiap bahasa
mayoritas memiliki ciri khas dimana dengan khas ini akan mudah membedakan
antara bahasa satu dan bahasa yang lainnya, dan akan menjadi kebanggaaan
tersendiri bagi orang-orang yang menggunakannya, dengan khas bahasalah semua
orang akan lebih menghargai dan menggangap bahasa merekalah yang sangat unik
dan bagus dibanding bahasa lainnya. Begitu juga dengan masyarakat Sumatra
Selatan mereka memeiliki bahasa khas yang berbeda dengan yang lainnya,
kesombongan bahasa muncul ketika adanya khas ini, baik dalam logat dan dialeg
bahasa. Sehingga mereka senang memamerkan bahasa mereka dengan nada kuat dan
tinggi kepada orang asing yang tidak mengetahui bahasa sumatra selatan. Secara
deskriptif umumnya untuk mempelajari bahasa ini sangatlah mudah karena bahasa
ini sama seperti halnya dengan bahasa Indonesia namun perbedaannya hanya
dilogat bahasa dan bahasa yang setiap kata akan diakhiri huruf O, namun tidak
semua bahasa Indonesia bisa diberi akhiran O karena bahasa ini memiliki bahasa
sendiri yang tidak ada dengan bahasa alain contoh:
a.
Kata makan
tidak bisa diubah menjadi makao atau makon
b.
Kemano/ (bahasa
Indonesia yang diakhiri huruf O) yang artinya kemana
c.
Cakmano? (bahasa
asli)artinya gimana?
4.
PERSAMAAN BAHASA
Dalam perkembangannya
Bahasa Sumatera Selatan dan bahasa yang lainnya secara umum akan mengalami
kesamaan dari berbagai sisi baik redaksi atau maknannya. Kaitannnya dengan
bahasa, bahasa ini juga memeliki kesamaan kata dengan bahasa lainnya sehingga
memunculkan arti yang sama juga, namun ada juga memiliki kesamaan kata berbeda
makna sebagai contoh kata awak dalam bahasa sumatra selatan adalah padahala,
dalam bahasa padang (sumatra barat) artinya saya, dalam bahasa Indonesia
artinya salah satu komponen penting dalam kapal (awak kapal)/nahkoda.
Untuk lebih jelasnya bisa kita perhatikan pada contoh dibawah ini:
Cokot (jawa)
: cokot (Palembang) = gigit
Pagawean (jawa)
: gawean (Palembang)= kerjaan
Dewe (jawa)
: dewe’an (Palembang)= sendirian
Lawang
(jawa)
: lawang (Palembang) = pintu
Njabo(jawa)
: jabo (Palembang) = luar
Jero (jawa) : dalam
: jero (Palembang) = kapok
Lemak (jawa) :
gajih
: lemak (Palembang) = enak
Melu
(jawa)
: melok (Palembang) = ikut
Metu
(jawa)
: metu (Palembang) = keluar
Unjuk (jawa) :
minum
: enjuk (Palembang) = member
Mburi(jawa)
: buri (Palembang)= belakang
Dengan realitas ini
sehingga kita sering menemukan humor-humor yang lucu karena salah pengertian
makna dari para pengguna bahasa. Contoh kasus :
“ pada suatu hari ada suku komering yang pergi
kepalembang untuk membeli sebuah bola, ketika sampai ketoko olahraga orang
komering tidak tau bagaimana menyebutkan kata bola dalam bahasa palembangnya
sehingga ia berkata pada orang Palembang “kak ado sepak mantul-mantul
dak?” Trus orang Palembang berkata “oow bola?”... (orang komering) sepak
mantul-mantul pak! (Palembang) “Iyo bola!”.. (komering) itu ado? (Palembang)
Iyo bola!.. nah ito ado sepak mantul-mantulnyo kak( orang komering
sambil menunjukkan kearah bola)… dalam bahasa komering bola artinya habis.
5.
PUJIAN DAN HINAAN
DALAM BAHASA SUMATRA SELATAN
Pada dasaranya orang
Sumatera itu memeiliki watak yang keras namun apa adanya sehingga dalam berbahasapun
orang Sumatera hususnya Sumatera Selatan akan berbahasa dengan kasar dan dengan
nada tinggi namun tetap ada sisi kasih sayang dan kelembutan dalam bergaul dan
bahasa khusnya dengn orang lain yang bukan orang Sumatra, ia akan berusaha
menghilangkan sisi kekerasan yang ada pada dirinya. Salah satu sifat fositif
yang dimiliki orang Sumatra adalah mereka akan mengemukakan apa adanya sesuai
apa yang meraka lihat. Sebagian orang Sumatra Apa bila ia tidak senang dengan
orang lain maka ia akan berkata langsung kepada orang yang ia tidak senangi dan
ini menjadikan dirinya lebih berwibawa dihadapan teman-temnnya, akan dihina dan
dimaki apabila dia bermuka manis didepan namun menusuk dari belakang (bermuka
masam dibelakang).
Karena siafat orang
Sumatra yang berkesan blak-blakan dan apa adanya, sehingga orang Sumatera tidak
bisa seindah suku lain lain yang bisa merangkai kata-kata khusus untuk pujian
kepada orang, apa yang dia lihat dan rasakan itulah yang ia sampaikan contoh : “belegak
nian kau hari ini bos!) cantik sekali kamu hari ini! Begitu juga dengan
ejekan atau hinaan orang sumatra yang berwatak keras akan lebih keras lagi
ketika dia menghina orang lain, menunjukkan tangan dan mata melotot serta
memebawa senjata tajam adalah salah satu ciri khas mereka ketika marah,
tak heran setiap hari pasti ada kasus kriminal seperti pembunuhan dan mutilasi,
beruntung pulau sumatra bukan pusat ibu kota sehingga kasus-kasu kriminal
disana kelihatan lebih sedikit, namun faktanya kalaw kita langsung terjun
kesana akan didapatkan kehidupan yang keras. Ejekan di sumatra identik kepada
nasab, dan kotoran mereka sangat marah ketika teman sebayanya memanggilnya
dengan nama orang tuanya seperti “halo pak sob!..(sob/sobri nama orang tua
anak). Mereka akan lebih menghormati orang tua yang ketika memanggilnya
menggunakan nama julukan ayahnya, karena di sumatra memiliki adat pemberian
julukan kepada orang yang telah menikah. Contoh hinaan mengunakan kotoran :
“woi pilat!” (pilat adalah kotoranputih yang berada di zakar laki-laki
yang belum bersunat).
6.
REKAYASA BAHASA
Pada sarnya Mitos dan
mistis di daerah Sumatra sangatlah sedikit berbeda dengan daerah lainnya
seperti pulau jawa sangat sarat dan kental akan mitos atau mistis. Kaitan
dengan bahasa orang Sumatara juga masih menggunakan bahasa isyarat yang
mengandung ketersiratan makan seperti contoh :
a.
Kalau kau jingok
tengah malam ado kembang yang terbang di pucuk rumah, mako petando kageg ado
tamu datang (kalawlah kamu melihat kupu-kupu yang terbang di atas rumah, maka
itu adalah suatu pertanda bahawa nanti akan datang tamu).
b.
Amon makan jangan dak
abis, kagek nangis pulo nasi tu! ( kalau makan jangan tidak habis, nanti
nasinya nangis)
7.
UPAYA MEMPERTAHANKAN
BAHASA
Suatu bahasa akan
lebih mampu bertahan lama kalau daerah tersebut dekat dengan media, bahasa jawa
terkenal karena salah satunya mereka dekat dengan ibu kota Negara walau tidak
menutup kemungkinan orang-oarang jawa juga berkonstribusi mengenalkan bahasa meraka
dengan melakukan penyebaran keselururuh kota dan desa. Begitu juga dengan
bahasa Sumatera Selatan, meraka juga berusaha untuk bisa memepertahan bahasa
mereka. Ini bermula ketika bahasa asli Palembang yang halus telah hilang,
adapun bahasa yang digunkan sekarang sudah tidak asli lagi. Sehingga untuk
mempertahan bahasanya pemerintah juga ikut berkoinstribusi dengan membuka
stasisun-stasion televisi yang menggunakan Bahasa Sumatra Selatan dan
radio-radio daerah yang menggunakan Bahasa Sumatra Selatan juga. Sedangkan dari
masyarata itu sendiri mereka yang memiliki bahasa akan menjaga dan
melestarikan bahasa sumatra selatan dengan kesadaran, karena suatu penghinaan
yang besar bagi mereka ketika mereka tidak menggunakan bahasa Sumatra Selatan
ketika bertemu dengan orang Sumatra Selatan.
DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/bahasa_palembang yang diakses tanggal 13 Januari 2014
http://wwwpalembang.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1 tanggal 13 Januari 2014
1 comments so far
EmoticonEmoticon