HUBUNGAN GURU DENGAN MURID : A.
Makna Kerja Guru terhadap Murid, B.
Arti Interaksi Edukatif, C. Beberapa Ciri
Interaksi Edukatif, D.
Berbagai Bentuk Interaksi Edukatif, E. Kedudukan Guru
HUBUNGAN GURU DENGAN MURID
Dalam
dunia pendidikan, guru memegang peranan penting dan strategis. Seorang guru
diharapkan dapat berkomunikasi , pandai mengasuh dan menjadi teman belajar bagi
para siswa untuk tumbuh dan berkembang. Terjalinnya komunikasi antar guru dan
siswa, serta siswa dengan siswa, tidak bisa dilepaskan dari cara guru tersebut
menciptakan suasana belajar – mengajaryang efektif. Ia harus mampu membangun
motivasi siswa, melibatkan siswa dalam proses belajar – mengajar serta pandai menarik minat dan perhatian siswa.
motivasi siswa, melibatkan siswa dalam proses belajar – mengajar serta pandai menarik minat dan perhatian siswa.
II. Pembahasan
A.
Makna Kerja Guru terhadap Murid
Dalam pengertian
sederhana, guru adalah orang yang memberikan pengetahuan kepada anak didik.
Sementara anak didik adalah setiap orang yang menerima pengaruh dari sese-orang
atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan. Keduanya merupakan
unsur paling vital di dalam proses belajar-mengajar. Sebab seluruh proses,
aktivitas orientasi serta relasi-relasi lain yang terjalin untuk
menyelenggarakan pendidikan selalu melibatkan keberadaan pendidik dan peserta
didik sebagai aktor pelaksana. Hal itu sudah menjadi syarat mutlak atas
terselenggaranya suatu kegiatan pendidikan. Pendidik dan peserta didik
merupakan dua jenis status yang dimiliki oleh manusia-manusia yang memainkan
peran fungsional dalam wilayah aktivitas yang terbingkai sebagai dunia pendi-dikan.
Masing-masing posisi yang melekat pada kedua pihak tersebut mewajibkan kepada
mereka untuk memainkan seperang-kat peran berbeda sesuai dengan konstruksi
struktural lingkungan pendidikan yang menjadi wadah kegiatan mereka. Antara
pendidik dan peserta didik terikat oleh suatu tata nilai terpola yang menopang
terjadinya proses belajar mengajar sesuai dengan posisi yang diperankan. Tentu
saja melihat ciri khas tujuan tersebut mengindikasikan bahwa iklim dan
orientasi belajar - mengajar selalu mengupayakan terjalinnya transformasi nilai
substansi pendidikan agar sampai pada level pemahaman para murid dengan
indikasi terpenuhinya kriteria peningkatan kemampuan pribadi baik pada ranah
kognitif, afektif maupun psikomotorik.
Selain itu proses
perembesan nilai dominan tersebut tentu-nya menyebar dan mendapat reaksi aktif
dari para peserta didik dengan beragam kemampuan, identitas, karakter individu
mau-pun kelompok serta unsur sosial lain yang ikut terlibat dalam atmosfir
orientasi edukatif rupanya berhasil menciptakan kera-gaman pola hubungan
beserta aneka ragam hasil dari interaksi belajar mengajar antara guru dan murid
di dalam lingkungan belajarnya. Semua proses itu merupakan konsekuensi logis
atas terbentuknya dunia sekunder aktivitas sekelompok manusia ber-nama
lingkungan pendidikan yang di dalamnya mencakup kom-pleksitas aktivitas
individu, kelompok dan sub-kultur lain yang ikut terlibat. Sehingga apapun yang
terlaksana juga mengikut-sertakan jaring-jaring nilai, peran, status, hak dan
kewajiban serta implikasi-implikasi sosial lainnya.
Sebagai salah satu
sistem organisasi aktivitas manusia, dunia pendidikan memiliki
perangkat-perangkat sistemik yang mengi-kutsertakan unsur internal maupun
eksternal guna membantu upaya pencapaian tujuan kelembagaannya. Dalam dimensi
sosial, lembaga pendidikan merupakan bagian dari pranata sistem sosio-kultural
masyarakat luas yang secara spesifik bertugas meme-lihara kelangsungan hasil
kerja peradaban masyarakat agar dirangkai menjadi ragam aktivitas
belajar-mengajar demi menja-min kelestarian produk masyarakat serta kualitas
manusia-manu-sia penerus kebudayaan. Hakikat hubungan pendidikan dengan
masyarakat ini mempengaruhi eksistensi serta dinamika antar-komponen dalam
wilayah internal lembaga pendidikan. Sehingga untuk hal yang lebih khusus,
hubungan guru dan murid tidak lepas dari jaring pengaruh komponen lain di
wilayah kelembaga-anya juga kekuatan-kekuatan eksternal yang secara laten ikut
ter-libat aktif mewarnai dinamika interaksi guru dan murid.
Sedikit ilustrasi
tersebut dapat menegaskan bahwa makna kerja guru terhadap murid dalam ruang
pendidikannya bukanlah sekadar aktivitas sederhana yang terisolasi dari konteks
pemben-tuk serta keanekaragaman implikasi sosialnya. Menyadari hal demikian,
kiranya dapat dipahami bahwa aktivitas belajar-mengajar
antara guru dengan murid merupakan salah satu gejala sosial yang memiliki
keterkaitan erat dengan rangkaian latar belakang serta konsekuensi sosialnya.
Oleh sebab itu, dalam kerangka ter-sebut segi-segi hubungan guru dan murid
menjadi salah satu topik bahasan dalam sosiologi pendidikan. Dalam hal ini,
kaca-mata sosiologi pendidikan akan meneropong segala hal yang berkaitan dengan
interaksi edukatif antara guru dan murid dalam konteks sosialnya.
B.
Arti Interaksi Edukatif
Manusia sebagai makhluk
sosial selalu membutuhkan keha-diran manusia lain. Keberadaan manusia selain
diri kita menye-babkan proses hubungan timbal-balik terjadi secara alamiah.
Pro-ses jalinan hubungan antar individu maupun kelompok terjadi dalam rangkaian
upaya memenuhi kebutuhan. Motif saling mem-butuhkan yang berbeda-beda jenis
kebutuhan membuat manusia saling melayani kebutuhan manusia lain.
Kecenderungan manusia
untuk berhubungan melahirkan komunikasi dua arah melalui bahasa yang mengandung
tindakan dan perbuatan. Oleh karena ada aksi dan reaksi, maka interaksi pun
terjadi. Oleh karena itu, interaksi akan berlangsung bila ada hubungan timbal
balik antara dua orang atau lebih.
Ilustrasi tentang
interaksi diatas adalah interaksi manusia yang lazim terjadi dalam masyarakat.
Hal itu berbeda dengan interaksi edukatif, interaksi tersebut dilakukan secara
alamiah tanpa dilandasi pedoman tujuan yang mengikat. Mereka mela-kukan
interaksi dengan tujuan masing-masing. Oleh karena itu, interaksi antara manusia
selalu mempunyai motif-motif tertentu guna memenuhi tuntutan hidup dan
kehidupan mereka masing-masing.
Interaksi yang
berlangsung di sekitar kehidupan manusia dapat diubah menjadi “interaksi yang
bernilai edukatif”, yakni interaksi yang dengan sadar meletakkan tujuan untuk
mengubah tingkah laku dan perbuatan seseorang. Interaksi yang bernilai
pendidikan ini dalam dunia pendidikan disebut sebagai “interaksi edukatif”.
Interaksi edukatif
harus menggambarkan hubungan aktif dua arah dengan sejumlah pengetahuan sebagai
mediumnya, sehingga interaksi itu merupakan hubungan yang bermakna dan kreatif.
Semua unsur interaksi
edukatif harus berproses dalam ikatan tujuan pendidikan. Oleh karena itu,
interaksi edukatif adalah suatu gambaran hubungan aktif dua arah antara guru
dan anak didik yang berlangsung dalam ikatan tujuan pendidikan.
Proses interaksi
edukatif adalah suatu proses yang mengan-dung sejumlah norma. Semua norma
itulah yang harus guru transfer kepada anak didik. Oleh karena itu, wajarlah
bila interaksi edukatif tidak berproses dalam kehampaan, tetapi dalam penuh
makna. Interaksi edukatif sebagai jembatan yang menghidupkan persenyawaan
antara pengetahuan dan perbuatan, yang mengan-tarkan kepada tingkah laku sesuai
dengan pengetahuan yang diterima anak didik. Dengan demikian dapat dipahami
bahwa interaksi edukatif adalah hubungan dua arah antara guru dan anak didik
dengan sejumlah norma sebagai mediumnya untuk mencapai tujuan pendidikan.
C. Beberapa Ciri
Interaksi Edukatif
Proses belajar-mengajar
akan senantiasa merupakan proses kegiatan interaksi antara dua unsur manusiawi,
yakni siswa seba-gai pihak yang belajar dan guru sebagai pihak yang mengajar,
dengan siswa sebagai subjek pokoknya. Dalam proses interaksi antara siswa dan
guru, dibutuhkan komponen-komponen pendu-kung seperti antara lain telah disebut
pada ciri-ciri interaksi edu-katif. Komponen-komponen tersebut dalam
berlangsungnya pro-ses belajar-mengajar tidak dapat dipisah-pisahkan. Perlu
ditegas-kan bahwa proses belajar-mengajar yang dikatakan sebagai proses teknis
ini, juga tidak dapat dilepaskan dari segi normatifnya. Segi
normatif inilah yang mendasari proses belajar mengajar.
Sehubungan dengan
uraian di atas, maka interaksi edukatif yang secara spesifik merupakan proses
atau interaksi belajar-mengajar itu, memiliki ciri-ciri khusus yang membedakan
dengan bentuk interaksi lain. Djamarah (1980) merinci ciri-ciri interaksi
belajar mengajar tersebut yaitu:
1.
Interaksi belajar-mengajar memiliki
tujuan, yakni untuk mem-bantu anak dalam suatu perkembangan tertentu. Inilah
yang dimaksud interaksi belajar-mengajar itu sadar tujuan, dengan
menempatkan siswa sebagai pusat perhatian. Siswa mempu-nyai tujuan, unsur
lainnya sebagai pengantar dan pendukung.
2.
Ada suatu prosedur (jalannya interaksi)
yang direncana, didesain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Agar
dapat mencapai tujuan secara optimal, maka dalam melaku-kan interaksi perlu
adanya prosedur atau langkah-langkah sistematis dan relevan. Untuk mencapai
suatu tujuan pembela-jaran yang satu dengan yang lain, mungkin akan
membu-tuhkan prosedur dan desain yang berbeda pula. Sebagai con-toh misalnya
tujuan pembelajaran agar siswa dapat menun-jukkan letak Kota New York, tentu
kegiatannya tidak cocok kalau disuruh membaca dalam hati, dan begitu
seterusnya.
3.
Interaksi belajar-mengajar ditandai
dengan satu penggarapan materi yang khusus. Dalam hal ini materi harus didesain
sede-mikian rupa sehingga cocok untuk mencapai tujuan. Sudah barang tentu dalam
hal ini perlu memperhatikan komponen-komponen yang lain, apalagi komponen anak
didik yang merupakan sentral. Materi harus sudah didesain dan disiap-kan
sebelum berlangsungnya interaksi belajar-mengajar.
4.
Ditandai dengan adanya aktivitas siswa.
Sebagai konsekuensi bahwa siswa merupakan sentral, maka aktivitas siswa
meru-pakan syarat mutlak bagi berlangsungnya interaksi belajar-mengajar.
Aktivitas siswa dalam hal ini, baik secara fisik mau-pun secara mental aktif.
Inilah yang sesuai dengan konsep CBSA. Jadi tidak ada gunanya guru melakukan
kegiatan inte-raksi belajar-mengajar, kalau siswa hanya pasif saja. Sebab para
siswalah yang belajar, maka merekalah yang harus melakukannya.
5.
Dalam interaksi belajar-mengajar, guru
berperan sebagai pem-bimbing. Dalam peranannya sebagai pembimbing ini guru
harus berusaha menghidupkan dan memberikan motivasi agar terjadi proses
interaksi yang kondusif. Guru harus siap sebagai mediator dalam segala situasi
proses belajar-mengajar, sehingga guru akan merupakan tokoh yang akan dilihat
dan akan ditiru tingkah lakunya oleh anak didik. Guru (“akan lebih baik bersama
siswa”) sebagai designer akan memimpin terjadinya interaksi
belajar-mengajar.
6.
Di dalam interaksi belajar-mengajar
membutuhkan disiplin. Disiplin dalam interaksi belajar-mengajar ini diartikan
sebagai suatu pola tingkah laku yang diatur sedemikian rupa menurut ketentuan
yang sudah ditaati oleh semua pihak dengan secara
sadar, baik pihak guru maupun pihak siswa. Mekanisme
konkrit dari ketaatan pada ketentuan atau tata tertib ini akan terlihat dari
pelaksanaan prosedur. Jagi langkah-langkah yang dilaksanakan sesuai dengan
prosedur yang sudah digariskan. Penyimpangan dari prosedur, berarti suatu
indikator pelang-garan disiplin.
7.
Ada batas waktu. Untuk mencapai tujuan
pembelajaran ter-tentu dalam sistem berkelas (kelompok siswa), batas waktu
menjadi salah-satu ciri yang tidak bisa ditinggalkan. Setiap tujuan akan diberi
waktu tertentu, kapan tujuan itu harus sudah tercapai.
Di samping beberapa
ciri seperti telah diuraikan di atas, unsur penilaian adalah unsur yang amat penting.
Dalam kaitan-nya dengan tujuan yang telah ditetapkan maka untuk mengetahui
apakah tujuan proses belajar- mengajar (interaksi edukatif) sudah atau belum,
perlu diketahui dengan kegiatan penilaian..
D.
Berbagai Bentuk Interaksi Edukatif
Belajar mengajar adalah
sebuah interaksi yang bernilai nor-matif. Belajar mengajar adalah suatu proses
yang dilakukan dengan sadar dan bertujuan. Tujuan adalah sebagai pedoman ke
arah mana akan dibawa proses belajar mengajar. Proses belajar mengajar akan
berhasil bila hasilnya mampu membawa peruba-han dalam pengetahuan, pemahaman,
keterampilan, dan sikap-sikap dalam diri anak didik.
Interaksi belajar
mengajar dikatakan bernilai normatif karena di dalamnya ada sejumlah nilai.
Jadi, adalah wajar bila interaksi itu dinilai bernilai edukatif? Guru yang
dengan sadar berusaha untuk mengubah tingkah laku, sikap, dan perbuatan anak
didik menjadi lebih baik, dewasa, dan bersusila yang cakap adalah sikap dan
tingkah laku guru yang bernilai edukatif.
Ada tiga bentuk
komunikasi antara guru dan anak didik dalam proses interaksi edukatif, yakni
komunikasi sebagai aksi, komunikasi sebagai interaksi, dan komunikasi sebagai
transaksi.
Komunikasi sebagai aksi
atau komunikasi satu arah menem-patkan guru sebagai pemberi aksi dan anak didik
sebagai pene-rima aksi. Guru aktif, dan anak didik pasif. Mengajar dipandang
sebagai kegiatan menyampaikan bahan pelajaran.
Dalam komunikasi
sebagai interaksi atau komunikasi dua arah, guru berperan sebagai pemberi aksi
atau penerima aksi. Demikian pula halnya anak didik, bisa sebagai penerima
aksi, bisa pula sebagai pemberi aksi. Antara guru dan anak didik akan terjadi
dialog.
Dalam komunikasi
sebagai transaksi atau komunikasi banyak arah, komunikasi tidak hanya terjadi
antara guru dan anak didik. Anak didik dituntut lebih aktif daripada guru,
seperti halnya guru, dapat berfungsi sebagai sumber balajar bagi anak didik
lain.
Usman (2000)
berpendapat bahwa kegiatan interaksi belajar mengajar sangat beraneka ragam
bentuk coraknya, mulai dari kegiatan yang didominasi oleh guru sampai kegiatan
mandiri yang dilakukan oleh anak didik. Pola interaksi
guru (G), murid (A) menurut Usman (2000), dapat diklasifikasikan stidaknya
atas 5 (lima) jenis, yaitu sebagai berikut.
Situasi pengajaran atau
proses interaksi belajar mengajar terjadi dalam berbagai pola komunikasi di
atas, akan tetapi komunikasi sebagai transaksi yang dianggap sesuai untuk
mengaktifkan potensi siswa/murid bisa jadi sangat tergantung situasi dan kebu-tuhan
yang dikembangkan oleh guru, atau bisa jadi merupakan gabungan dari banyak pola
interaksi di atas.
1. Tugas Guru
Dalam lingkup profesi
guru memiliki beberapa tugas, baik yang terikat oleh profesinya maupun di luar
tugas formalnya. Secara garis besar tugas guru dapat dikelompokkan menjadi tiga
yakni tugas profesi, tugas kemanusiaan dan tugas kemasyara-katan.
Sebagai salah satu
profesi resmi kedudukan guru memer-lukan keahlian khusus. Jenis pekerjaan ini
tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang pekerjaannya. Terkait
dengan hal tersebut Usman (2000) menegaskan bahwa tugas guru sebagai profesi
mencakup beberapa persyaratan:
a.
Menuntut adanya keterampilan yang
berdasarkan konsep dan teori ilmu pengetahuan yang mendalam,
b.
Menekankan pada suatu keahlian dalam
bidang tertentu sesuai dengan bidang profesinya,
c.
Menuntut adanya tingkat pendidikan yang
memadai,
d.
Adanya kepekaan terhadap dampak
kemasyarakatan dari pekerjaan yang dilakukannya, dan
e.
Memungkinkan perkembangan sejalan dengan
dinamika kehidupan.
Selain persyaratan
tersebut, sebetulnya masih ada persya-ratan yang harus dipenuhi oleh setiap
pekerjaan yang tergolong ke dalam suatu profesi antara lain yaitu,
a.
Memiliki kode etik, sebagai acuan dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya,
b.
Memiliki klien atau obyek layanan yang
tetap seperti dokter dengan pasiennya, guru dengan muridnya, dan
c.
Diakui oleh masyarakat karena memang
diperlukan jasanya di masyarakat.
Sebagai bahan
perbandingan, berikut ini disajikan pula ciri-ciri keprofesian yang dikemukakan
oleh D. Westby Gibson ,1965 ( dalam Usman , 2000) secara rinci adalah sebagai
berikut,
a.
Pengakuan oleh masyarakat terhadap
layanan tertentu yang hanya dapat dilakukan oleh kelompok pekerja yang
dikate-gorikan sebagai suatu profesi,
b.
Dimilikinya sekumpulan bidang ilmu yang
menjadi landasan sejumlah teknik dan prosedur yang unik,
c.
Diperlukannya persiapan yang sengaja dan
sistematis sebelum orang mampu melaksanakan suatu pekerjaan professional, dan
d.
Dimilikinya organisasi profesional yang
di samping melin-dungi kepentingan anggotanya dari saingan kelompok luar, juga
berfungsi tidak saja menjaga, akan tetapi sekaligus selalu berusaha
meningkatkan kualitas layanan kepada masyarakat, termasuk tindak-tindak etis
profesional kepada anggotanya.
Atas dasar persyaratan
tersebut, jelaslah jabatan profesional harus ditempuh melalui jenjang
pendidikan khusus yang mem-persiapkan jabatan itu. Demikian pula dengan profesi
guru, harus ditempuh melalui pendidikan pre service education di lembaga
pendidikan tenaga kependidikan ( LPTK).
Dua tokoh ilmu sosial
yakni Etzioni dan Leggart sebagaimana dijelaskan oleh Robinson (1981)
mengemukakan pandangannya terhadap profesi guru dalam kancah dunia pekerjaan.
Menurut Etzioni pada tahun 1969, guru dapat dimasukan dalam kategori “semi
profesi” yang di dalamnya juga tercakup profesi pekerja sosial dan juru rawat.
Sementara Leggart pada tahun 1970, lebih suka menggunakan istilah “profesi
birokrasi” dengan alasan bahwa ciri-ciri khusus pekerjaan mengajar timbul dari
citra kerja di dalam organisasi-organisasi. Kriteria semiprofesi dimaksudkan
bahwa dalam kedudukan tingkat profesi, semiprofesi merupakan tingkat
profesional kedua, dan menuntut tanggung jawab agak penuh dibandingkan dengan
tingkat profesi penuh. Dalam posisi tersebut, guru di satu sisi terikat secara
total dan ketat dengan aturan serta tata laksana profesinya dari struktur
organisasi yang mengelola profesi pekerjaannya, penentuan kurikulum nasional,
anggaran dana dari Departemen Pendidikan serta ketentuan-ketentuan luar yang
mengikat kerja profesinya. Namun dalam melaksanakan pekerjaannya guru juga memiliki
otoritas pribadi untuk menentukan pendekatan pengajaran, serta serangkaian
kegiatan interaksi belajar mengajar di ruang kelas sesuai dengan kebutuhan dan
situasi yang dihadapi.
Uraian di atas
menjelaskan latar belakang tugas guru sebagai pengajar dan pendidik. Tugas guru
sebagai suatu profesi menun-tut kepada guru untuk mengembangkan profesionalitas
diri se-suai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mendidik, mengajar dan
melatih anak didik adalah tugas guru sebagai suatu profesi. Tugas guru sebagai
pendidik berarti meneruskan dan mengem-bangkan nilai-nilai hidup kepada anak
didik. Tugas guru sebagai pengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu
penge-tahuan dan teknologi kepada anak didik. Tugas guru sebagai pelatih berarti
mengembangkan keterampilan dan menerap-kannya dalam kehidupan demi masa depan
anak didik.
Tugas kemanusiaan juga
menjadi salah satu segi dari tugas guru. Sisi ini tidak bisa guru abaikan,
karena guru harus terlibat dengan kehidupan di masyarakat dengan interaksi
sosial. Guru harus menanamkan nilai-nilai kemanusiaan kepada anak didik. Dengan
begitu anak didik dididik agar mempunyai sifat kesetia-kawanan sosial.
Tugas guru dalam bidang
kemanusiaan di sekolah harus dapat menjadikan dirinya sebagai orang tua kedua.
Ia harus mampu menarik simpati sehingga ia menjadi idola para siswanya.
Pelajaran apapun yang diberikan, hendaknya dapat menjadi moti-vasi bagi
siswanya dalam belajar. Bila seorang guru dalam penam-pilannya tidak menarik,
maka kegagalan pertama adalah ia tidak akan dapat menanamkan benih
pengajarannya itu kepada para siswanya. Para siswa akan enggan mengahadapi guru
yang tidak menarik. Pelajaran tidak dapat diserap sehingga setiap lapisan
masyarakat (homo ludens, homopuber, dan homosapiens) dapat
mengerti bila menghadapi guru.
Di bidang
kemasyarakatan merupakan tugas guru yang juga tidak kalah pentingnya. Pada
bidang ini guru mempunyai tugas mendidik dan mengajar masyarakat untuk menjadi
warga negara Indonesia yang baik (yaitu yang bermoral Pancasila). Memang tidak
dapat dipungkiri bila guru mendidik anak didik sama hal-nya guru juga bertugas
mencerdaskan bangsa secara keseluruhan.
Bila dipahami, maka
tugas guru tidak hanya sebatas dinding sekolah, tetapi juga sebagai penghubung
antara sekolah dan masyarakat. Secara singkat tugas guru dapat digambarkan
melalui bagan berikut.
Selain itu, T. Raka Joni (dalam
Sardiman, 2001) merumuskan tiga kemampuan penting yang harus dimiliki oleh
seorang guru profesional. Ketiga kemampuan tersebut dikenal dengan sebutan
“tiga kompetensi” yaitu (1) kompetensi profesional, (2) kompe-tensi personal,
dan (3) kompetensi sosial. Penjelasan untuk masing-masing adalah sebagai
berikut:
a.
Kompetensi profesional, artinya bahwa
guru harus memiliki pengetahuan yang luas serta mendalam tentang bidang studi
yang akan diajarkan, serta penguasaan metodologis dalam arti memiliki
pengetahuan konsep teoretis, mampu memilih meto-de yang tepat, serta mampu
menggunakannya dalam proses belajar mengajar.
b.
Kompetensi personal, artinya bahwa guru
harus memiliki sikap kepribadian yang mantap, sehingga mampu menjadi sumber
intensifikasi bagi subjek. Arti lebih terperinci adalah bahwa ia memiliki
kepribadian yang patut diteladani seperti yang dikemukakan oleh Ki Hadjar
Dewantoro yaitu “Ing ngar-so sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri
han-dayani”.
c.
Kompetensi sosial, artinya bahwa guru
harus memiliki kemampuan berkomunikasi sosial, baik dengan murid-muridnya
maupun dengan sesama teman guru, dengan kepala sekolah, dengan pegawai tata
usaha, dan tidak lupa dengan anggota masyarakat di lingkungannya.
2. Peran Guru dalam Proses Pembelajaran
Sejak lahirnya
pekerjaan mengajar, orang selalu berusaha untuk meningkatkan prestasi belajar
subjek didik. Di dalam proses pembelajaran, guru memegang peranan yang sangat
penting. Untuk dapat diharapkannya hasil maksimal dari perannya, perlu
mencermati perilaku guru, konteks, siswa, kurikulum, metode, dan sarana. Keenam
unsur ini dapat berpengaruh terhadap kualitas pembelajaran. Namun di antara
keenam unsur tersebut, guru merupakan satu-satunya unsur yang mampu mengubah
unsur-unsur lain menjadi bervariasi. Sebaliknya unsur-unsur yang lain tidak
dapat mengubah guru menjadi bervariasi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
guru merupakan unsur yang mempunyai peran amat penting bagi terwujudnya
pembelajaran, menurut kualitas yang dikehendaki.
Dengan cara
membandingkan berbagai situasi pembelajaran, yakni melakukan analisis
komponen-komponen situasi pembela-jaran itu jika berganti-ganti unsur seperti
guru, siswa, kurikulum, metode, sarana dipandang sebagai satu variabel yang
diekslusif-kan. Keterangan tersebut dapat dijelaskan dengan uraian fungsi masing-masing
komponen yang berpengaruh dalam interaksi belajar.
Dari segi komponen
guru, kualitas pembelajaran akan bervariasi sesuai dengan karakter pribadi
gurunya. Guru adalah manusia. Manusia adalah unik. Setiap manusia memiliki
spsifikasi sendiri-sendiri. Dengan adanya keunikan itulah terlahir situasi
pembelajaran yang unik. Selain itu kualitas pembelajaran akan bervariasi sesuai
dengan waktu seorang guru bekerja. Situasi pembelajaran yang tercipta oleh
seorang guru akan berbeda dari waktu ke waktu. Oleh karena itu unsur “waktu”
dalam bagian ini akan lebih tepat jika diperluas menjadi unsur “konteks”.
Kelompok siswa yang
menjadi subyek didik juga memberi pengaruh optimalnya pembelajaran. Dengan
kondisi siswa yang berbeda, akan tercipta suasana kelas yang berbeda pula.
Respon yang berbeda antarkelompok siswa di kelas tertentu dibanding dengan
kelompok siswa di kelas lain akan mempengaruhi pendekatan pembelajaran yang berbeda.
Pada pertengahan tahun 1960-an Robert Rosenthal dan Lenore Jacobson sebagaimana
diterangkan Robinson (1981) mengadakan eksperimen yang tujuannya menguji
pernyataan bahwa dalam kelas tertentu anak yang oleh gurunya diharapkan bisa
mencapai perkembangan kecerdasan yang lebih besar, akan menunjukkan pertumbuhan
yang lebih besar pula. Setting penelitian yang dilakukan di San Fransisco ini
dengan mengambil sampel murid Sekolah Dasar menunjukkan hasil yang seperti
diduga sebelumnya. Bagi sekolah secara keseluruhan, anak-anak yang oleh gurunya
diharapkan bisa mencapai hasil yang lebih besar, memang bisa menunjukkan hasil
yang lebih besar. Dengan kata lain, tingginya pengharapan guru tampaknya
memungkinkan anak-anak bisa meningkatkan kemampuan yang cukup tinggi pula.
Kualitas pembelajaran
bervariasi sesuai dengan kurikulum yang disajikan. Sebenarnya yang dimaksud
dengan kurikulum bukan sekadar materi pelajaran saja tetapi juga metode,
strategi, pengelolaan siswa, dan lain-lain aspek kurikulum. Disisi lain jenis
dan variasi metode yang digunakan juga ikut mempengaruhi keberhasilan
pengajaran.
Jika deretan contoh di
atas disimpulkan maka yang dapat kita ketahui dengan mantap adalah suatu bukti
bahwa untuk memperoleh pembelajaran yang berkualitas agar menghasilkan prestasi belajar yang berkualitas pula, maka perlu diperhatikan
unsur-unsur yang secara langsung berkaitan dengan berlangsung-nya proses
pembelajaran tersebut, yang penting adalah guru, siswa, kurikulum dan sarana,
serta faktor lain yang sifatnya kontekstual.
3. Kepemimpinan Guru terhadap Murid
Mengajar didefinisikan
sebagai serangkaian interaksi antara orang-orang yang berperan selaku guru
dengan orang yang ber-peran sebagai murid, yang tujuannya untuk mengubah
keadaan kognitif dan afektif murid, maka pembahasan sosiologi pendidik-an
mengenai peran guru terhadap peserta didiknya menitik-beratkan pada makna
status guru dalam keterlibatannya dengan murid, yaitu guru memimpin murid dalam
proses belajar mereka.
Dalam studi sosiologi
pendidikan sendiri selama tahun 1940-an dan 1950-an diselenggarakan penelitian
terkenal guna menelaah “gaya kepemimpinan” guru terhadap murid. Oleh karena
penerapannya pada pendidikan, asumsi dasarnya menya-takan bahwa kualitas guru
selaku pemimpin, termasuk bagaimana ia mengontrol situasi kelas, menentukan
semangat dan penam-pilan murid. Dalam salah satu penelitiannya Lewin dan
Lippit, 1940 sebagaimana ditulis Faisal dan Yasik (1985) mengadakan serangkaian
eksperimen. Dalam eksperimen tersebut dibuatlah beraneka ragam suasana
kepemimpinan guru – murid, yang dapat diterapkan atau dimodifikasi juga oleh
guru-guru yang lainnya. Eksperimen itu adalah sebagai berikut:
a)
Kepemimpinan Otoriter
Tujuan umum, kegiatan khusus dan prosedur kerja
kelompok semuanya didikte oleh pemimpin. Di dalam kelas pemimpin tetap menjaga
jarak dari anggota. Partisipasi aktif hanya dilayani apabila menyangkut masalah
tugas-tugas formal.
b)
Kepemimpinan Demokratis
Semua kebijakan, kegiatan dan prosedur kerjanya
ditetapkan oleh kelompok secara keseluruhan pemimpinnya ikut aktif dan berusaha
menjadi anggota biasa dengan semangat tanpa melakukan banyak kegiatan.
c)
Kepemimpinan Laissez-faire
Dalam gaya kepemimpinan ini ada kebebasan sepenuhnya
bagi kelompok maupun individu untuk menetapkan kepu-tusan, dengan sedikit
partisipasi.
III. Penutup
Seorang
guru yang memiliki sikap yang profesional adalah guru yang menjadi idola bagi
orang disekelilingnya, ia menajdi guru yang dapat menyelaraskan kata dan
perbuatan. Seorang sosok guru yang profesional adalah guru yang pembelajar,
yang memahami keunikan siswanya dan membimbing anak tersebut untuk mecapai
keoptimalan potensinya. Guru profesional adalah guru yang dapat menyeimbangkan
kecerdasan spiritual, emosional dan intelektualnya, semua tersinergi dan
terkoneksi dalam dirinya.
- Sukadi.2007. guru powerfull guru masa depan.Bandung.Kolbu
- Ramly.A.T.2006.Menjadi guru idola.Bekasi.Pustaka Inti
- Al-Qarni,’Aidh, 2004, La Tahzan, jangan bersedih.Jakarta. Qisthi Press
- Rahardjo, sekti & Susanti, Rina, 2007, FUN TAC TICS.Bandung.Syaamil Teens
- Kusnadi, Ateng, 2004, bangkitkan Ruh Jihad, Jakarta. P.T. Rekayasa Teknologi Canggih
- UMMI,Majalah.2002, Edisi spesial 4 tahun, Jakarta. P.T.Dian Rakyat
EmoticonEmoticon