Saturday, April 4, 2015

HUBUNGAN GURU DENGAN MURID

HUBUNGAN GURU DENGAN MURID : A. Makna Kerja Guru terhadap Murid, B. Arti Interaksi Edukatif, C. Beberapa Ciri Interaksi Edukatif, D. Berbagai Bentuk Interaksi Edukatif, E. Kedudukan Guru 



HUBUNGAN GURU DENGAN MURID

I. Pendahuluan
Dalam dunia pendidikan, guru memegang peranan penting dan strategis. Seorang guru diharapkan dapat berkomunikasi , pandai mengasuh dan menjadi teman belajar bagi para siswa untuk tumbuh dan berkembang. Terjalinnya komunikasi antar guru dan siswa, serta siswa dengan siswa, tidak bisa dilepaskan dari cara guru tersebut menciptakan suasana belajar – mengajaryang efektif. Ia harus mampu membangun
motivasi siswa, melibatkan siswa dalam proses belajar – mengajar serta pandai menarik minat dan perhatian siswa.

II. Pembahasan
A. Makna Kerja Guru terhadap Murid

Dalam pengertian sederhana, guru adalah orang yang memberikan pengetahuan kepada anak didik. Sementara anak didik adalah setiap orang yang menerima pengaruh dari sese-orang atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan. Keduanya merupakan unsur paling vital di dalam proses belajar-mengajar. Sebab seluruh proses, aktivitas orientasi serta relasi-relasi lain yang terjalin untuk menyelenggarakan pendidikan selalu melibatkan keberadaan pendidik dan peserta didik sebagai aktor pelaksana. Hal itu sudah menjadi syarat mutlak atas terselenggaranya suatu kegiatan pendidikan. Pendidik dan peserta didik merupakan dua jenis status yang dimiliki oleh manusia-manusia yang memainkan peran fungsional dalam wilayah aktivitas yang terbingkai sebagai dunia pendi-dikan. Masing-masing posisi yang melekat pada kedua pihak tersebut mewajibkan kepada mereka untuk memainkan seperang-kat peran berbeda sesuai dengan konstruksi struktural lingkungan pendidikan yang menjadi wadah kegiatan mereka. Antara pendidik dan peserta didik terikat oleh suatu tata nilai terpola yang menopang terjadinya proses belajar mengajar sesuai dengan posisi yang diperankan. Tentu saja melihat ciri khas tujuan tersebut mengindikasikan bahwa iklim dan orientasi belajar - mengajar selalu mengupayakan terjalinnya transformasi nilai substansi pendidikan agar sampai pada level pemahaman para murid dengan indikasi terpenuhinya kriteria peningkatan kemampuan pribadi baik pada ranah kognitif, afektif maupun psikomotorik.
Selain itu proses perembesan nilai dominan tersebut tentu-nya menyebar dan mendapat reaksi aktif dari para peserta didik dengan beragam kemampuan, identitas, karakter individu mau-pun kelompok serta unsur sosial lain yang ikut terlibat dalam atmosfir orientasi edukatif rupanya berhasil menciptakan kera-gaman pola hubungan beserta aneka ragam hasil dari interaksi belajar mengajar antara guru dan murid di dalam lingkungan belajarnya. Semua proses itu merupakan konsekuensi logis atas terbentuknya dunia sekunder aktivitas sekelompok manusia ber-nama lingkungan pendidikan yang di dalamnya mencakup kom-pleksitas aktivitas individu, kelompok dan sub-kultur lain yang ikut terlibat. Sehingga apapun yang terlaksana juga mengikut-sertakan jaring-jaring nilai, peran, status, hak dan kewajiban serta implikasi-implikasi sosial lainnya.
Sebagai salah satu sistem organisasi aktivitas manusia, dunia pendidikan memiliki perangkat-perangkat sistemik yang mengi-kutsertakan unsur internal maupun eksternal guna membantu upaya pencapaian tujuan kelembagaannya. Dalam dimensi sosial, lembaga pendidikan merupakan bagian dari pranata sistem sosio-kultural masyarakat luas yang secara spesifik bertugas meme-lihara kelangsungan hasil kerja peradaban masyarakat agar dirangkai menjadi ragam aktivitas belajar-mengajar demi menja-min kelestarian produk masyarakat serta kualitas manusia-manu-sia penerus kebudayaan. Hakikat hubungan pendidikan dengan masyarakat ini mempengaruhi eksistensi serta dinamika antar-komponen dalam wilayah internal lembaga pendidikan. Sehingga untuk hal yang lebih khusus, hubungan guru dan murid tidak lepas dari jaring pengaruh komponen lain di wilayah kelembaga-anya juga kekuatan-kekuatan eksternal yang secara laten ikut ter-libat aktif mewarnai dinamika interaksi guru dan murid.
Sedikit ilustrasi tersebut dapat menegaskan bahwa makna kerja guru terhadap murid dalam ruang pendidikannya bukanlah sekadar aktivitas sederhana yang terisolasi dari konteks pemben-tuk serta keanekaragaman implikasi sosialnya. Menyadari hal demikian, kiranya dapat dipahami bahwa aktivitas belajar-mengajar antara guru dengan murid merupakan salah satu gejala sosial yang memiliki keterkaitan erat dengan rangkaian latar belakang serta konsekuensi sosialnya. Oleh sebab itu, dalam kerangka ter-sebut segi-segi hubungan guru dan murid menjadi salah satu topik bahasan dalam sosiologi pendidikan. Dalam hal ini, kaca-mata sosiologi pendidikan akan meneropong segala hal yang berkaitan dengan interaksi edukatif antara guru dan murid dalam konteks sosialnya.

B. Arti Interaksi Edukatif

Manusia sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan keha-diran manusia lain. Keberadaan manusia selain diri kita menye-babkan proses hubungan timbal-balik terjadi secara alamiah. Pro-ses jalinan hubungan antar individu maupun kelompok terjadi dalam rangkaian upaya memenuhi kebutuhan. Motif saling mem-butuhkan yang berbeda-beda jenis kebutuhan membuat manusia saling melayani kebutuhan manusia lain.
Kecenderungan manusia untuk berhubungan melahirkan komunikasi dua arah melalui bahasa yang mengandung tindakan dan perbuatan. Oleh karena ada aksi dan reaksi, maka interaksi pun terjadi. Oleh karena itu, interaksi akan berlangsung bila ada hubungan timbal balik antara dua orang atau lebih.
Ilustrasi tentang interaksi diatas adalah interaksi manusia yang lazim terjadi dalam masyarakat. Hal itu berbeda dengan interaksi edukatif, interaksi tersebut dilakukan secara alamiah tanpa dilandasi pedoman tujuan yang mengikat. Mereka mela-kukan interaksi dengan tujuan masing-masing. Oleh karena itu, interaksi antara manusia selalu mempunyai motif-motif tertentu guna memenuhi tuntutan hidup dan kehidupan mereka masing-masing.
Interaksi yang berlangsung di sekitar kehidupan manusia dapat diubah menjadi “interaksi yang bernilai edukatif”, yakni interaksi yang dengan sadar meletakkan tujuan untuk mengubah tingkah laku dan perbuatan seseorang. Interaksi yang bernilai pendidikan ini dalam dunia pendidikan disebut sebagai “interaksi edukatif”.
Interaksi edukatif harus menggambarkan hubungan aktif dua arah dengan sejumlah pengetahuan sebagai mediumnya, sehingga interaksi itu merupakan hubungan yang bermakna dan kreatif.
Semua unsur interaksi edukatif harus berproses dalam ikatan tujuan pendidikan. Oleh karena itu, interaksi edukatif adalah suatu gambaran hubungan aktif dua arah antara guru dan anak didik yang berlangsung dalam ikatan tujuan pendidikan.
Proses interaksi edukatif adalah suatu proses yang mengan-dung sejumlah norma. Semua norma itulah yang harus guru transfer kepada anak didik. Oleh karena itu, wajarlah bila interaksi edukatif tidak berproses dalam kehampaan, tetapi dalam penuh makna. Interaksi edukatif sebagai jembatan yang menghidupkan persenyawaan antara pengetahuan dan perbuatan, yang mengan-tarkan kepada tingkah laku sesuai dengan pengetahuan yang diterima anak didik. Dengan demikian dapat dipahami bahwa interaksi edukatif adalah hubungan dua arah antara guru dan anak didik dengan sejumlah norma sebagai mediumnya untuk mencapai tujuan pendidikan.

C. Beberapa Ciri Interaksi Edukatif
Proses belajar-mengajar akan senantiasa merupakan proses kegiatan interaksi antara dua unsur manusiawi, yakni siswa seba-gai pihak yang belajar dan guru sebagai pihak yang mengajar, dengan siswa sebagai subjek pokoknya. Dalam proses interaksi antara siswa dan guru, dibutuhkan komponen-komponen pendu-kung seperti antara lain telah disebut pada ciri-ciri interaksi edu-katif. Komponen-komponen tersebut dalam berlangsungnya pro-ses belajar-mengajar tidak dapat dipisah-pisahkan. Perlu ditegas-kan bahwa proses belajar-mengajar yang dikatakan sebagai proses teknis ini, juga tidak dapat dilepaskan dari segi normatifnya. Segi normatif inilah yang mendasari proses belajar mengajar.
Sehubungan dengan uraian di atas, maka interaksi edukatif yang secara spesifik merupakan proses atau interaksi belajar-mengajar itu, memiliki ciri-ciri khusus yang membedakan dengan bentuk interaksi lain. Djamarah (1980) merinci ciri-ciri interaksi belajar mengajar tersebut yaitu:

1.      Interaksi belajar-mengajar memiliki tujuan, yakni untuk mem-bantu anak dalam suatu perkembangan tertentu. Inilah yang dimaksud interaksi belajar-mengajar itu sadar tujuan, dengan menempatkan siswa sebagai pusat perhatian. Siswa mempu-nyai tujuan, unsur lainnya sebagai pengantar dan pendukung.
2.       Ada suatu prosedur (jalannya interaksi) yang direncana, didesain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Agar dapat mencapai tujuan secara optimal, maka dalam melaku-kan interaksi perlu adanya prosedur atau langkah-langkah sistematis dan relevan. Untuk mencapai suatu tujuan pembela-jaran yang satu dengan yang lain, mungkin akan membu-tuhkan prosedur dan desain yang berbeda pula. Sebagai con-toh misalnya tujuan pembelajaran agar siswa dapat menun-jukkan letak Kota New York, tentu kegiatannya tidak cocok kalau disuruh membaca dalam hati, dan begitu seterusnya.
3.       Interaksi belajar-mengajar ditandai dengan satu penggarapan materi yang khusus. Dalam hal ini materi harus didesain sede-mikian rupa sehingga cocok untuk mencapai tujuan. Sudah barang tentu dalam hal ini perlu memperhatikan komponen-komponen yang lain, apalagi komponen anak didik yang merupakan sentral. Materi harus sudah didesain dan disiap-kan sebelum berlangsungnya interaksi belajar-mengajar.
4.       Ditandai dengan adanya aktivitas siswa. Sebagai konsekuensi bahwa siswa merupakan sentral, maka aktivitas siswa meru-pakan syarat mutlak bagi berlangsungnya interaksi belajar-mengajar. Aktivitas siswa dalam hal ini, baik secara fisik mau-pun secara mental aktif. Inilah yang sesuai dengan konsep CBSA. Jadi tidak ada gunanya guru melakukan kegiatan inte-raksi belajar-mengajar, kalau siswa hanya pasif saja. Sebab para siswalah yang belajar, maka merekalah yang harus melakukannya.
5.       Dalam interaksi belajar-mengajar, guru berperan sebagai pem-bimbing. Dalam peranannya sebagai pembimbing ini guru harus berusaha menghidupkan dan memberikan motivasi agar terjadi proses interaksi yang kondusif. Guru harus siap sebagai mediator dalam segala situasi proses belajar-mengajar, sehingga guru akan merupakan tokoh yang akan dilihat dan akan ditiru tingkah lakunya oleh anak didik. Guru (“akan lebih baik bersama siswa”) sebagai designer akan memimpin terjadinya interaksi belajar-mengajar.
6.       Di dalam interaksi belajar-mengajar membutuhkan disiplin. Disiplin dalam interaksi belajar-mengajar ini diartikan sebagai suatu pola tingkah laku yang diatur sedemikian rupa menurut ketentuan yang sudah ditaati oleh semua pihak dengan secara
sadar, baik pihak guru maupun pihak siswa. Mekanisme konkrit dari ketaatan pada ketentuan atau tata tertib ini akan terlihat dari pelaksanaan prosedur. Jagi langkah-langkah yang dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang sudah digariskan. Penyimpangan dari prosedur, berarti suatu indikator pelang-garan disiplin.

7.      Ada batas waktu. Untuk mencapai tujuan pembelajaran ter-tentu dalam sistem berkelas (kelompok siswa), batas waktu menjadi salah-satu ciri yang tidak bisa ditinggalkan. Setiap tujuan akan diberi waktu tertentu, kapan tujuan itu harus sudah tercapai.
Di samping beberapa ciri seperti telah diuraikan di atas, unsur penilaian adalah unsur yang amat penting. Dalam kaitan-nya dengan tujuan yang telah ditetapkan maka untuk mengetahui apakah tujuan proses belajar- mengajar (interaksi edukatif) sudah atau belum, perlu diketahui dengan kegiatan penilaian..
 
D. Berbagai Bentuk Interaksi Edukatif
Belajar mengajar adalah sebuah interaksi yang bernilai nor-matif. Belajar mengajar adalah suatu proses yang dilakukan dengan sadar dan bertujuan. Tujuan adalah sebagai pedoman ke arah mana akan dibawa proses belajar mengajar. Proses belajar mengajar akan berhasil bila hasilnya mampu membawa peruba-han dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan sikap-sikap dalam diri anak didik.
Interaksi belajar mengajar dikatakan bernilai normatif karena di dalamnya ada sejumlah nilai. Jadi, adalah wajar bila interaksi itu dinilai bernilai edukatif? Guru yang dengan sadar berusaha untuk mengubah tingkah laku, sikap, dan perbuatan anak didik menjadi lebih baik, dewasa, dan bersusila yang cakap adalah sikap dan tingkah laku guru yang bernilai edukatif.
Ada tiga bentuk komunikasi antara guru dan anak didik dalam proses interaksi edukatif, yakni komunikasi sebagai aksi, komunikasi sebagai interaksi, dan komunikasi sebagai transaksi.
Komunikasi sebagai aksi atau komunikasi satu arah menem-patkan guru sebagai pemberi aksi dan anak didik sebagai pene-rima aksi. Guru aktif, dan anak didik pasif. Mengajar dipandang sebagai kegiatan menyampaikan bahan pelajaran.
Dalam komunikasi sebagai interaksi atau komunikasi dua arah, guru berperan sebagai pemberi aksi atau penerima aksi. Demikian pula halnya anak didik, bisa sebagai penerima aksi, bisa pula sebagai pemberi aksi. Antara guru dan anak didik akan terjadi dialog.
Dalam komunikasi sebagai transaksi atau komunikasi banyak arah, komunikasi tidak hanya terjadi antara guru dan anak didik. Anak didik dituntut lebih aktif daripada guru, seperti halnya guru, dapat berfungsi sebagai sumber balajar bagi anak didik lain.
Usman (2000) berpendapat bahwa kegiatan interaksi belajar mengajar sangat beraneka ragam bentuk coraknya, mulai dari kegiatan yang didominasi oleh guru sampai kegiatan mandiri yang dilakukan oleh anak didik. Pola interaksi guru (G), murid (A) menurut Usman (2000), dapat diklasifikasikan stidaknya atas 5 (lima) jenis, yaitu sebagai berikut.

Situasi pengajaran atau proses interaksi belajar mengajar terjadi dalam berbagai pola komunikasi di atas, akan tetapi komunikasi sebagai transaksi yang dianggap sesuai untuk mengaktifkan potensi siswa/murid bisa jadi sangat tergantung situasi dan kebu-tuhan yang dikembangkan oleh guru, atau bisa jadi merupakan gabungan dari banyak pola interaksi di atas.

E. Kedudukan Guru 

1. Tugas Guru
Dalam lingkup profesi guru memiliki beberapa tugas, baik yang terikat oleh profesinya maupun di luar tugas formalnya. Secara garis besar tugas guru dapat dikelompokkan menjadi tiga yakni tugas profesi, tugas kemanusiaan dan tugas kemasyara-katan.
Sebagai salah satu profesi resmi kedudukan guru memer-lukan keahlian khusus. Jenis pekerjaan ini tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang pekerjaannya. Terkait dengan hal tersebut Usman (2000) menegaskan bahwa tugas guru sebagai profesi mencakup beberapa persyaratan:
a.    Menuntut adanya keterampilan yang berdasarkan konsep dan teori ilmu pengetahuan yang mendalam,
b.    Menekankan pada suatu keahlian dalam bidang tertentu sesuai dengan bidang profesinya,
c.    Menuntut adanya tingkat pendidikan yang memadai,
d.   Adanya kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan dari pekerjaan yang dilakukannya, dan
e.    Memungkinkan perkembangan sejalan dengan dinamika kehidupan.
Selain persyaratan tersebut, sebetulnya masih ada persya-ratan yang harus dipenuhi oleh setiap pekerjaan yang tergolong ke dalam suatu profesi antara lain yaitu,
a.       Memiliki kode etik, sebagai acuan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya,
b.      Memiliki klien atau obyek layanan yang tetap seperti dokter dengan pasiennya, guru dengan muridnya, dan
c.       Diakui oleh masyarakat karena memang diperlukan jasanya di masyarakat.
Sebagai bahan perbandingan, berikut ini disajikan pula ciri-ciri keprofesian yang dikemukakan oleh D. Westby Gibson ,1965 ( dalam Usman , 2000) secara rinci adalah sebagai berikut,
a.       Pengakuan oleh masyarakat terhadap layanan tertentu yang hanya dapat dilakukan oleh kelompok pekerja yang dikate-gorikan sebagai suatu profesi,
b.      Dimilikinya sekumpulan bidang ilmu yang menjadi landasan sejumlah teknik dan prosedur yang unik,
c.       Diperlukannya persiapan yang sengaja dan sistematis sebelum orang mampu melaksanakan suatu pekerjaan professional, dan
 d.      Dimilikinya organisasi profesional yang di samping melin-dungi kepentingan anggotanya dari saingan kelompok luar, juga berfungsi tidak saja menjaga, akan tetapi sekaligus selalu berusaha meningkatkan kualitas layanan kepada masyarakat, termasuk tindak-tindak etis profesional kepada anggotanya.
Atas dasar persyaratan tersebut, jelaslah jabatan profesional harus ditempuh melalui jenjang pendidikan khusus yang mem-persiapkan jabatan itu. Demikian pula dengan profesi guru, harus ditempuh melalui pendidikan pre service education di lembaga pendidikan tenaga kependidikan ( LPTK).
Dua tokoh ilmu sosial yakni Etzioni dan Leggart sebagaimana dijelaskan oleh Robinson (1981) mengemukakan pandangannya terhadap profesi guru dalam kancah dunia pekerjaan. Menurut Etzioni pada tahun 1969, guru dapat dimasukan dalam kategori “semi profesi” yang di dalamnya juga tercakup profesi pekerja sosial dan juru rawat. Sementara Leggart pada tahun 1970, lebih suka menggunakan istilah “profesi birokrasi” dengan alasan bahwa ciri-ciri khusus pekerjaan mengajar timbul dari citra kerja di dalam organisasi-organisasi. Kriteria semiprofesi dimaksudkan bahwa dalam kedudukan tingkat profesi, semiprofesi merupakan tingkat profesional kedua, dan menuntut tanggung jawab agak penuh dibandingkan dengan tingkat profesi penuh. Dalam posisi tersebut, guru di satu sisi terikat secara total dan ketat dengan aturan serta tata laksana profesinya dari struktur organisasi yang mengelola profesi pekerjaannya, penentuan kurikulum nasional, anggaran dana dari Departemen Pendidikan serta ketentuan-ketentuan luar yang mengikat kerja profesinya. Namun dalam melaksanakan pekerjaannya guru juga memiliki otoritas pribadi untuk menentukan pendekatan pengajaran, serta serangkaian kegiatan interaksi belajar mengajar di ruang kelas sesuai dengan kebutuhan dan situasi yang dihadapi.
Uraian di atas menjelaskan latar belakang tugas guru sebagai pengajar dan pendidik. Tugas guru sebagai suatu profesi menun-tut kepada guru untuk mengembangkan profesionalitas diri se-suai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mendidik, mengajar dan melatih anak didik adalah tugas guru sebagai suatu profesi. Tugas guru sebagai pendidik berarti meneruskan dan mengem-bangkan nilai-nilai hidup kepada anak didik. Tugas guru sebagai pengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu penge-tahuan dan teknologi kepada anak didik. Tugas guru sebagai pelatih berarti mengembangkan keterampilan dan menerap-kannya dalam kehidupan demi masa depan anak didik.
Tugas kemanusiaan juga menjadi salah satu segi dari tugas guru. Sisi ini tidak bisa guru abaikan, karena guru harus terlibat dengan kehidupan di masyarakat dengan interaksi sosial. Guru harus menanamkan nilai-nilai kemanusiaan kepada anak didik. Dengan begitu anak didik dididik agar mempunyai sifat kesetia-kawanan sosial.
Tugas guru dalam bidang kemanusiaan di sekolah harus dapat menjadikan dirinya sebagai orang tua kedua. Ia harus mampu menarik simpati sehingga ia menjadi idola para siswanya. Pelajaran apapun yang diberikan, hendaknya dapat menjadi moti-vasi bagi siswanya dalam belajar. Bila seorang guru dalam penam-pilannya tidak menarik, maka kegagalan pertama adalah ia tidak akan dapat menanamkan benih pengajarannya itu kepada para siswanya. Para siswa akan enggan mengahadapi guru yang tidak menarik. Pelajaran tidak dapat diserap sehingga setiap lapisan masyarakat (homo ludens, homopuber, dan homosapiens) dapat mengerti bila menghadapi guru.
Di bidang kemasyarakatan merupakan tugas guru yang juga tidak kalah pentingnya. Pada bidang ini guru mempunyai tugas mendidik dan mengajar masyarakat untuk menjadi warga negara Indonesia yang baik (yaitu yang bermoral Pancasila). Memang tidak dapat dipungkiri bila guru mendidik anak didik sama hal-nya guru juga bertugas mencerdaskan bangsa secara keseluruhan.
Bila dipahami, maka tugas guru tidak hanya sebatas dinding sekolah, tetapi juga sebagai penghubung antara sekolah dan masyarakat. Secara singkat tugas guru dapat digambarkan melalui bagan berikut.
Selain itu, T. Raka Joni (dalam Sardiman, 2001) merumuskan tiga kemampuan penting yang harus dimiliki oleh seorang guru profesional. Ketiga kemampuan tersebut dikenal dengan sebutan “tiga kompetensi” yaitu (1) kompetensi profesional, (2) kompe-tensi personal, dan (3) kompetensi sosial. Penjelasan untuk masing-masing adalah sebagai berikut:
a.       Kompetensi profesional, artinya bahwa guru harus memiliki pengetahuan yang luas serta mendalam tentang bidang studi yang akan diajarkan, serta penguasaan metodologis dalam arti memiliki pengetahuan konsep teoretis, mampu memilih meto-de yang tepat, serta mampu menggunakannya dalam proses belajar mengajar.
b.       Kompetensi personal, artinya bahwa guru harus memiliki sikap kepribadian yang mantap, sehingga mampu menjadi sumber intensifikasi bagi subjek. Arti lebih terperinci adalah bahwa ia memiliki kepribadian yang patut diteladani seperti yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantoro yaitu “Ing ngar-so sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri han-dayani”.
c.       Kompetensi sosial, artinya bahwa guru harus memiliki kemampuan berkomunikasi sosial, baik dengan murid-muridnya maupun dengan sesama teman guru, dengan kepala sekolah, dengan pegawai tata usaha, dan tidak lupa dengan anggota masyarakat di lingkungannya. 

2.         Peran Guru dalam Proses Pembelajaran
Sejak lahirnya pekerjaan mengajar, orang selalu berusaha untuk meningkatkan prestasi belajar subjek didik. Di dalam proses pembelajaran, guru memegang peranan yang sangat penting. Untuk dapat diharapkannya hasil maksimal dari perannya, perlu mencermati perilaku guru, konteks, siswa, kurikulum, metode, dan sarana. Keenam unsur ini dapat berpengaruh terhadap kualitas pembelajaran. Namun di antara keenam unsur tersebut, guru merupakan satu-satunya unsur yang mampu mengubah unsur-unsur lain menjadi bervariasi. Sebaliknya unsur-unsur yang lain tidak dapat mengubah guru menjadi bervariasi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa guru merupakan unsur yang mempunyai peran amat penting bagi terwujudnya pembelajaran, menurut kualitas yang dikehendaki.
Dengan cara membandingkan berbagai situasi pembelajaran, yakni melakukan analisis komponen-komponen situasi pembela-jaran itu jika berganti-ganti unsur seperti guru, siswa, kurikulum, metode, sarana dipandang sebagai satu variabel yang diekslusif-kan. Keterangan tersebut dapat dijelaskan dengan uraian fungsi masing-masing komponen yang berpengaruh dalam interaksi belajar.
Dari segi komponen guru, kualitas pembelajaran akan bervariasi sesuai dengan karakter pribadi gurunya. Guru adalah manusia. Manusia adalah unik. Setiap manusia memiliki spsifikasi sendiri-sendiri. Dengan adanya keunikan itulah terlahir situasi pembelajaran yang unik. Selain itu kualitas pembelajaran akan bervariasi sesuai dengan waktu seorang guru bekerja. Situasi pembelajaran yang tercipta oleh seorang guru akan berbeda dari waktu ke waktu. Oleh karena itu unsur “waktu” dalam bagian ini akan lebih tepat jika diperluas menjadi unsur “konteks”.
Kelompok siswa yang menjadi subyek didik juga memberi pengaruh optimalnya pembelajaran. Dengan kondisi siswa yang berbeda, akan tercipta suasana kelas yang berbeda pula. Respon yang berbeda antarkelompok siswa di kelas tertentu dibanding dengan kelompok siswa di kelas lain akan mempengaruhi pendekatan pembelajaran yang berbeda. Pada pertengahan tahun 1960-an Robert Rosenthal dan Lenore Jacobson sebagaimana diterangkan Robinson (1981) mengadakan eksperimen yang tujuannya menguji pernyataan bahwa dalam kelas tertentu anak yang oleh gurunya diharapkan bisa mencapai perkembangan kecerdasan yang lebih besar, akan menunjukkan pertumbuhan yang lebih besar pula. Setting penelitian yang dilakukan di San Fransisco ini dengan mengambil sampel murid Sekolah Dasar menunjukkan hasil yang seperti diduga sebelumnya. Bagi sekolah secara keseluruhan, anak-anak yang oleh gurunya diharapkan bisa mencapai hasil yang lebih besar, memang bisa menunjukkan hasil yang lebih besar. Dengan kata lain, tingginya pengharapan guru tampaknya memungkinkan anak-anak bisa meningkatkan kemampuan yang cukup tinggi pula.
Kualitas pembelajaran bervariasi sesuai dengan kurikulum yang disajikan. Sebenarnya yang dimaksud dengan kurikulum bukan sekadar materi pelajaran saja tetapi juga metode, strategi, pengelolaan siswa, dan lain-lain aspek kurikulum. Disisi lain jenis dan variasi metode yang digunakan juga ikut mempengaruhi keberhasilan pengajaran.
Jika deretan contoh di atas disimpulkan maka yang dapat kita ketahui dengan mantap adalah suatu bukti bahwa untuk memperoleh pembelajaran yang berkualitas agar menghasilkan prestasi belajar yang berkualitas pula, maka perlu diperhatikan unsur-unsur yang secara langsung berkaitan dengan berlangsung-nya proses pembelajaran tersebut, yang penting adalah guru, siswa, kurikulum dan sarana, serta faktor lain yang sifatnya kontekstual.


3.  Kepemimpinan Guru terhadap Murid
Mengajar didefinisikan sebagai serangkaian interaksi antara orang-orang yang berperan selaku guru dengan orang yang ber-peran sebagai murid, yang tujuannya untuk mengubah keadaan kognitif dan afektif murid, maka pembahasan sosiologi pendidik-an mengenai peran guru terhadap peserta didiknya menitik-beratkan pada makna status guru dalam keterlibatannya dengan murid, yaitu guru memimpin murid dalam proses belajar mereka.
Dalam studi sosiologi pendidikan sendiri selama tahun 1940-an dan 1950-an diselenggarakan penelitian terkenal guna menelaah “gaya kepemimpinan” guru terhadap murid. Oleh karena penerapannya pada pendidikan, asumsi dasarnya menya-takan bahwa kualitas guru selaku pemimpin, termasuk bagaimana ia mengontrol situasi kelas, menentukan semangat dan penam-pilan murid. Dalam salah satu penelitiannya Lewin dan Lippit, 1940 sebagaimana ditulis Faisal dan Yasik (1985) mengadakan serangkaian eksperimen. Dalam eksperimen tersebut dibuatlah beraneka ragam suasana kepemimpinan guru – murid, yang dapat diterapkan atau dimodifikasi juga oleh guru-guru yang lainnya. Eksperimen itu adalah sebagai berikut:
a)    Kepemimpinan Otoriter
Tujuan umum, kegiatan khusus dan prosedur kerja kelompok semuanya didikte oleh pemimpin. Di dalam kelas pemimpin tetap menjaga jarak dari anggota. Partisipasi aktif hanya dilayani apabila menyangkut masalah tugas-tugas formal.
b)    Kepemimpinan Demokratis
Semua kebijakan, kegiatan dan prosedur kerjanya ditetapkan oleh kelompok secara keseluruhan pemimpinnya ikut aktif dan berusaha menjadi anggota biasa dengan semangat tanpa melakukan banyak kegiatan.
c)    Kepemimpinan Laissez-faire
Dalam gaya kepemimpinan ini ada kebebasan sepenuhnya bagi kelompok maupun individu untuk menetapkan kepu-tusan, dengan sedikit partisipasi.
III.  Penutup
Seorang guru yang memiliki sikap yang profesional adalah guru yang menjadi idola bagi orang disekelilingnya, ia menajdi guru yang dapat menyelaraskan kata dan perbuatan. Seorang sosok guru yang profesional adalah guru yang pembelajar, yang memahami keunikan siswanya dan membimbing anak tersebut untuk mecapai keoptimalan potensinya. Guru profesional adalah guru yang dapat menyeimbangkan kecerdasan spiritual, emosional dan intelektualnya, semua tersinergi dan terkoneksi dalam dirinya.

IV.  Daftar Pustaka 
  • Sukadi.2007. guru powerfull guru masa depan.Bandung.Kolbu
  • Ramly.A.T.2006.Menjadi guru idola.Bekasi.Pustaka Inti
  • Al-Qarni,’Aidh, 2004, La Tahzan, jangan bersedih.Jakarta. Qisthi Press
  • Rahardjo, sekti & Susanti, Rina, 2007, FUN TAC TICS.Bandung.Syaamil Teens
  • Kusnadi, Ateng, 2004, bangkitkan Ruh Jihad, Jakarta. P.T. Rekayasa Teknologi Canggih
  • UMMI,Majalah.2002, Edisi spesial 4 tahun, Jakarta. P.T.Dian Rakyat


EmoticonEmoticon